Print

5 Bias Kognitif yang Dapat Mempengaruhi Teologi Kita

Artikel ini bukan buatan WLC. Saat menggunakan sumber dari penulis luar, kami hanya mempublikasikan konten yang 100% selaras dengan Alkitab dan selaras dengan keyakinan Alkitabiah WLC pada saat ini. Jadi artikel semacam ini bisa dianggap seolah-olah bersumber langsung dari WLC. Kami sangat diberkati oleh pelayanan banyak hamba-hamba Yahuwah. Tetapi kami tidak menyarankan anggota kami untuk mengeksplorasi karya lain dari para penulis ini. Karya lain yang mengandung kesalahan tidak akan kami publikasikan. Sayangnya, kami belum menemukan pelayanan yang bebas dari kesalahan. Jika Anda dikejutkan oleh beberapa konten terbitan yang bukan buatan WLC [baik artikel maupun episode radio], ingatlah kitab Amsal 4:18. Pemahaman kita tentang kebenaran-Nya akan berkembang, seiring bertambah banyaknya terang yang dicurahkan di jalan kita. Kita harus menghargai kebenaran lebih dari hidup itu sendiri, dan mencarinya di mana pun itu dapat ditemukan.

5 Bias Kognitif yang Dapat Mempengaruhi Teologi Kita

Sering kali terasa mengecewakan ketika Anda membagikan iman kepada teman dan keluarga yang dianggap “ortodoks”, tetapi mereka justru menolak keyakinan Anda. Banyak orang dengan gigih berpegang pada penafsiran mereka sendiri meskipun ada bukti Alkitabiah yang bertentangan. Mengapa sebagian orang begitu enggan mengubah teologi mereka? Sangat mungkin bahwa bias kognitif menghalangi mereka untuk memproses informasi secara objektif.

Bias membantu otak kita bekerja dengan menyederhanakan proses pengambilan keputusan.¹ Namun demikian, bias kognitif dapat menyebabkan kita membuat keputusan yang keliru di saat seharusnya kita membuat keputusan yang berdasarkan pertimbangan yang matang. Penulis dan pendidik Kendra Cherry mendefinisikan bias kognitif sebagai “suatu jenis kesalahan dalam berpikir yang terjadi ketika orang memproses dan menafsirkan informasi di dunia di sekeliling mereka.”² Menurut Psychology Today, jenis “pola berpikir yang berulang” ini dapat menghasilkan “kesimpulan yang tidak akurat atau tidak masuk akal.”³ Lebih dari 180 bias kognitif dapat “mengganggu cara kita memproses data, berpikir kritis, dan memersepsikan realitas.”⁴

Dalam iklim politik masa kini yang sarat ketegangan, cukup mudah untuk mengenali bias semacam itu ketika bekerja pada orang lain. Namun, penulis terkenal C.S. Lewis mencatat bahwa orang Kristen pun tidak kebal terhadap keberpihakan:

“Sebagian besar dari kita sebenarnya tidak mendekati pokok persoalan untuk mengetahui apa yang dikatakan Kekristenan; kita mendekatinya dengan harapan menemukan dukungan dari Kekristenan bagi pandangan kelompok kita sendiri.”⁵

Sesungguhnya, Yahuwah, yang menyelidiki hati, memperingatkan kita tentang kelicikan pikiran manusia:

Yeremia 17:9 “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu; siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Seperti halnya politik, teologi kita juga rentan disabotase oleh bias kognitif. Berbeda dengan politik, sering kali lebih sulit untuk mengenali bias teologis kita atau melihatnya sebagai penghalang dalam membedakan kebenaran Alkitabiah, sebab bias tersebut kerap tersembunyi di balik tradisi keagamaan kita. Sebagaimana dikemukakan oleh Profesor Jackson Wu:

“Lebih jauh lagi, kekuatan tradisi mendorong kita terus melaju. Kita menyaring teks-teks tertentu dan kesimpulan teologis tertentu, atau bahkan mungkin terlalu menekankan gagasan-gagasan yang melampaui apa yang ditemukan dalam Kitab Suci. Dengan demikian, tradisi dan subkultur ‘Kristen’ kita menciptakan bias serta menyematkan makna atau signifikansi tertentu ke dalam suatu perikop.”⁶

Dalam tulisan ini, kita akan menelaah lima bias kognitif yang dapat menghambat eksegesis yang rasional dan menghalangi kesediaan kita untuk mempertimbangkan penafsiran yang berbeda dari pandangan kita sendiri secara objektif.

Bias Konfirmasi

Bias konfirmasi, yang barangkali merupakan bias kognitif paling umum, didefinisikan oleh Encyclopedia of Human Behavior sebagai “kecenderungan untuk secara selektif mencari atau menafsirkan informasi dengan cara yang meneguhkan prakonsepsi atau hipotesis seseorang.”⁷ Informasi yang menantang bias tersebut cenderung diabaikan atau ditolak secara langsung. Bias konfirmasi sangat lazim dalam lingkaran teologis, baik di kalangan terpelajar maupun awam, karena Kitab Suci hanya ditelusuri untuk menemukan ayat-ayat yang mendukung keyakinan yang telah terbentuk sebelumnya. Sering kali, seseorang yang memiliki bias ini merasa telah melakukan penelaahan yang memadai, padahal pada kenyataannya tujuan pencarian Alkitab tersebut bukanlah untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk meneguhkan versinya sendiri tentang kebenaran itu. Jurnalis Jason Zweig menggambarkan fenomena ini sebagai “orang dalam” yang selalu berkata “ya”, yang sekadar menggemakan posisi seseorang.⁸

Teks pembuktian (proof texts) merupakan “makanan pokok” dari bias kognitif ini. Sayangnya, yang terjadi bukanlah eksegesis melainkan eisegesis,⁹ karena teks Alkitab telah “diputihkan” oleh prakonsepsi sang penafsir. Ketika bukti yang membantah penafsiran tersebut disajikan, seseorang yang terjebak dalam bias kognitif akan tetap berpegang pada kekeliruannya, sering kali dengan mengabaikan hal sesederhana konteks tekstual, alih-alih mengakui kesalahan.

Profesor Aaron Chalmers menjelaskan bagaimana bias konfirmasi dapat menyulitkan perubahan penafsiran Alkitab seseorang:

“Para peneliti telah menunjukkan bahwa dampak bias konfirmasi lebih kuat pada isu-isu yang sarat muatan emosional dan keyakinan yang telah mengakar kuat. Dalam kedua kasus tersebut, orang cenderung lebih resisten terhadap perubahan. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa bias ini merupakan faktor signifikan dalam penafsiran Alkitab, yang kerap berurusan dengan isu-isu yang bermakna secara emosional dan—bagi mereka yang berasal dari latar belakang konfensional—sering melibatkan keyakinan yang dipegang dengan sangat kuat.”¹⁰

Keyakinan yang dipegang dengan tulus semacam ini dapat mendorong kita untuk merasionalisasi apa pun yang mendukung pandangan kita. Sebuah organisasi yang berdedikasi pada pengembangan berpikir kritis menjelaskan:

“Jika suatu kesimpulan mendukung keyakinan yang sudah Anda miliki, Anda akan merasionalisasi apa pun yang mendukungnya. Sulit bagi kita untuk mengesampingkan keyakinan yang ada demi mempertimbangkan secara objektif nilai sejati suatu argumen. Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa gagasan-gagasan kita menjadi kebal terhadap kritik dan terus-menerus diperkuat… Kita cenderung secara otomatis membela gagasan kita tanpa sungguh-sungguh mempertanyakannya.”¹¹

Dengan demikian, bahkan ketika Kitab Suci yang bertentangan dengan penafsiran mereka diajukan, orang percaya yang bias akan menolak data tersebut dan membela keyakinannya dengan “menggali parit lebih dalam.” Fenomena ini dikenal sebagai Efek Bumerang.

Efek Bumerang

Ketika keyakinan inti kita ditantang oleh informasi yang bertentangan, hal itu dapat mendorong kita untuk semakin menguatkan dan melindungi posisi kita. Sekalipun dihadapkan pada bukti konkret yang meruntuhkan keyakinan tersebut, kita menolak untuk mengubah pendapat. Bias kognitif ini dikenal sebagai efek bumerang.¹²

Salah satu alasan mengapa orang dapat dengan penuh gairah kembali berkomitmen pada keyakinan yang keliru adalah rasa takut. Misalnya, ketakutan untuk dinyatakan salah atau harus mengakui kesalahan dapat menjadi dorongan kuat untuk menolak keyakinan yang berlawanan, sekalipun didukung secara Alkitabiah. Sebagaimana akan terlihat pada bias-bias berikutnya, ketakutan-ketakutan lain juga dapat membuat kita menghindari perubahan teologis.

Kesalahan Terlanjur Rugi

Keyakinan inti berkembang seiring waktu dan umumnya melibatkan suatu bentuk investasi. Kesalahan terlanjur rugi terjadi ketika seseorang tetap mempertahankan sesuatu yang telah ia investasikan hanya karena terasa terlalu menyakitkan untuk melepaskannya.¹³ Kekeliruan ini sering muncul dalam dunia finansial,¹⁴ tetapi juga dapat termanifestasi dalam ranah teologis. Prinsip terlanjur rugi dapat terjadi pada orang-orang yang pekerjaannya terikat pada teologinya atau yang telah menginvestasikan waktu, keuangan, dan emosi ke dalam posisi atau pelayanan mereka. Bagi banyak orang, ketakutan kehilangan “investasi” tersebut membuat mereka sangat sulit untuk berpaling. Sebagian mungkin menilai bahwa mempertahankan keyakinan yang keliru lebih tidak menyakitkan daripada kehilangan reputasi akibat perubahan teologi. Sayangnya, pepatah “jangan berpegang pada suatu kesalahan hanya karena Anda telah menghabiskan banyak waktu untuk melakukannya” sering diabaikan. Ada yang menghitung untung rugi untuk meninggalkan investasinya dan mendapati kerugiannya terlalu berat untuk ditanggung.¹⁵

Ada kemungkinan bahwa Saulus dari Tarsus (Paulus) pernah mengalami Kesalahan terlanjur rugi:

Galatia 1:13–14 “Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: tanpa batas aku menganiaya jemaat Yahuwah dan berusaha membinasakannya. Dan di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman sebangsaku, karena aku sangat giat memelihara adat istiadat nenek moyangku.

Sekalipun ia “giat bagi Yahuwah,”¹⁶ kegigihannya yang ekstrem terhadap tradisi leluhur membutakannya sehingga ia gagal mengenali bahwa Yahushua adalah Mesias yang dijanjikan. Bias tersebut menutup matanya terhadap kebenaran dan mendorongnya menganiaya orang-orang percaya. Bagi Paulus, meninggalkan statusnya yang sedang menanjak akan sangat sulit, bahkan nyaris tak terpikirkan. Namun syukurlah, ketika Saulus (Paulus) berjumpa dengan Kristus di jalan ke Damsyik, ia mengubah pandangannya—meskipun perubahan itu menuntut seluruh hal yang telah ia perjuangkan dengan susah payah. Di kemudian hari, rasul itu mengakui pentingnya memiliki pengetahuan yang benar dan semangat yang tepat bagi Yahuwah.¹⁷ Menjelang akhir hidupnya, Paulus dengan tepat menyimpulkan bahwa harga perubahan keyakinannya tentang Yahushua sepenuhnya sepadan:

Filipi 3:8 “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yahushua, Tuanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.”

Sayangnya, tidak semua orang mengambil pilihan ini, karena tradisi keagamaan—dalam kesetiaan yang membutakan, setidaknya untuk sementara waktu—mengungguli kebenaran.

Bias Antar-kelompok

Di dalam bias antar-kelompok, yang juga dikenal sebagai efek kesukuan, adalah kecenderungan untuk memandang diri kita sebagai tidak memihak. Pada kenyataannya, kita justru menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang termasuk dalam kelompok yang sama dengan kita.¹⁸ Dalam ranah teologis, hal ini tampak dalam kecenderungan memberi bobot lebih besar pada pendapat orang-orang yang dengannya kita beridentifikasi atau yang berasal dari denominasi atau gerakan yang sama. Keluarga, teman, pendeta, pemimpin pelayanan, dan para sarjana dianggap dapat dipercaya dan “benar” karena mereka berada dalam “lingkaran” kita. Namun, kita sering tidak menyadari bahwa bias sama lazimnya di kalangan akademisi dan rohaniwan terpelajar sebagaimana di kalangan awam. Hanya karena seseorang seharusnya bersikap tidak memihak dalam mempelajari Kitab Suci, tidak berarti ia benar-benar demikian.

Ketakutan akan penolakan oleh kelompok dapat menjadi pendorong yang kuat untuk mempertahankan teologi kelompok, sekalipun teologi tersebut keliru. Hal ini terlihat dalam kisah orang tua dari seorang anak yang sejak lahir telah buta. Ketika Yahushua menyembuhkannya, mereka berpura-pura tidak tahu karena takut dikeluarkan dari sinagog:

Yohanes 9:20–22 Orang tua itu menjawab dan berkata, “Yang kami tahu ialah bahwa ia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta; tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang telah membuka matanya, kami tidak tahu. Tanyakanlah kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri.” Orang tua itu berkata demikian karena takut kepada orang-orang Yahudi; sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat, bahwa setiap orang yang mengaku dia sebagai Mesias, akan dikucilkan dari sinagog.

Demikian pula, ketika beberapa pemimpin Yahudi mulai menerima Yahushua sebagai Mesias, mereka memilih diam karena takut akan penolakan:

Yohanes 12:42–43 Namun, banyak juga di antara para pemimpin yang percaya kepadanya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya, supaya jangan dikucilkan dari sinagog. Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia daripada kehormatan Yahuwah.

Kebutuhan akan persetujuan kelompok menciptakan sebuah bias kognitif yang sangat kuat, dan hampir tidak ada seorang pun yang kebal terhadap daya tariknya yang merusak. Namun demikian, kita harus melawan kecenderungan ini, sebab lebih baik ditolak oleh manusia daripada oleh Yahuwah.

Efek Ilusi Kebenaran

Efek ilusi kebenaran adalah “kecenderungan orang untuk menganggap suatu pernyataan sebagai benar hanya karena pernyataan itu pernah mereka dengar sebelumnya, terlepas dari kebenarannya yang sesungguhnya.”¹⁹ Keakraban dengan suatu penafsiran Kitab Suci tertentu dapat menghalangi seseorang untuk menerima pandangan yang berlawanan sebagai kebenaran. Dengan kata lain, jika suatu keyakinan atau tradisi telah diulang-ulang—terutama oleh sumber yang dianggap berotoritas seperti pendeta, pemimpin pelayanan yang dihormati, atau bahkan anggota keluarga—seseorang lebih mudah menerima penafsiran tersebut karena sudah terasa akrab. Teolog J. I. Packer membahas kekuatan tradisi dalam membentuk keyakinan Alkitabiah kita:

“Kita tidak memulai kehidupan Kristen dengan merumuskan iman kita sendiri; iman itu dimediasikan kepada kita oleh tradisi Kristen dalam bentuk khotbah, buku, dan pola kehidupan serta persekutuan gereja yang mapan. Kita membaca Alkitab kita dalam terang apa yang telah kita pelajari dari sumber-sumber ini; kita mendekati Kitab Suci dengan pikiran yang telah dibentuk oleh sekumpulan opini dan sudut pandang yang telah kita jumpai, baik di dalam Gereja maupun di dunia… Sangat mudah untuk tidak menyadari bahwa hal itu telah terjadi; dan sangat sulit bahkan untuk mulai menyadari betapa dalamnya tradisi, dalam pengertian ini, telah membentuk diri kita.”²⁰

Keakraban tradisi sering dipandang sebagai bukti kebenarannya. Bahkan, menurut Phillips Brooks, ortodoksi kerap buta terhadap ketidaksempurnaannya sendiri:

“Ortodoxi, di dalam Gereja, sangat mirip dengan prasangka dalam pikiran individu. Ia adalah kesombongan prematur akan kepastian. Ia memperlakukan yang tidak sempurna seolah-olah sempurna.”²¹

Sebagian orang memandang ruang-ruang sakral “ortodoksi” sebagai tempat perlindungan yang aman dan takut akan apa yang mungkin terjadi jika mereka melangkah keluar dari batas-batasnya. Setiap tantangan terhadap tradisi dapat dipersepsikan sebagai kemungkinan penyesatan dari pihak lawan. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa “ortodoksi” masa kini adalah hasil perkembangan historis. Bahkan para sarjana Alkitab mengakui hal ini. Dengan kata lain, ortodoksi hari ini adalah bidah kemarin sore. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk berupaya mengikuti ortodoksi Yahushua dan ajaran-ajarannya. Sebagaimana telah kita lihat pada Saulus dari Tarsus (Paulus), tradisi dapat menjadi batu sandungan bagi kebenaran. Kita tidak boleh takut untuk menguji tradisi-tradisi kita dalam terang Kitab Suci. Firman Yahuwah sanggup bertahan terhadap pengujian. Pertanyaannya adalah: apakah doktrin-doktrin kita juga sanggup?

Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Apa yang dapat kita lakukan untuk melawan bias kognitif? Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa kita semua rentan terhadapnya. Packer mencatat:

“Kita tidak pernah boleh mengasumsikan kebenaran mutlak dari pemikiran dan praktik kita yang telah mapan lalu membebaskan diri dari keharusan untuk mengujinya dan membarukannya melalui Kitab Suci.”²²

Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk dengan doa memeriksa keyakinan-keyakinan kita dan menyingkirkan setiap “balok” dari mata kita, supaya tidak menghalangi kita dalam menanggapi penglihatan yang keliru pada orang lain.²³

Selain itu, mereka yang memegang pandangan ke-esa-an Yahuwah harus berdoa agar Yahuwah berkenan memberikan hikmat dan pewahyuan kepada sahabat dan keluarga kita yang “ortodoks,” khususnya mengenai identitas-Nya dan identitas Anak-Nya. Inilah yang didoakan Paulus:

Efesus 1:16–17 Aku tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku, dan meminta kepada Yahuwah dari Tuan kita Yahushua Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar.

Lebih jauh, membagikan informasi mengenai bias kognitif kepada orang lain dengan sikap rendah hati dan tanpa nada menuduh dapat menjadi hal yang menolong. Demikian pula, pengakuan tentang bagaimana Tuhan telah menyingkapkan bias-bias kita sendiri dapat memberi dampak yang berarti.

Akhirnya, mintalah kepada Yahuwah keberanian untuk terus membagikan keyakinan Anda sejauh diizinkan, dan percayakan kepada Yahuwah untuk melakukan bagian-Nya. Jika selubung mata Paulus dapat disingkapkan sehingga ia melihat siapa Yahushua itu, kita pun dapat mengalaminya.²⁴


1 “Bias,” Psychology Today, accessed 5-28-20, https://www.psychologytoday.com/intl/basics/bias

2 Kendra Cherry, “What is Cognitive Bias?, 5-5-20, accessed 5-28-29, https://www.verywellmind.com/what-is-a-cognitive-bias-2794963

3 “Bias,” Psychology Today, accessed 5-28-20, https://www.psychologytoday.com/intl/basics/bias

4 Jess Desjardins, “24 Cognitive Biases That Are Warping Your Perception of Reality,” Visual Capitalist, 12-13-18, accessed 5-28-20, https://www.visualcapitalist.com/24-cognitive-biases-warping-reality/

5 C.S. Lewis, Mere Christianity, (New York: Harper Collins, 1952), p.87.

6 Jackson Wu, How Cognitive Biases Produce Theological Syncreticism, 9-26-18, accessed 5-28-30, https://www.patheos.com/blogs/jacksonwu/2018/09/26/how-cognitive-biases-produce-theological-syncretism/

7 Wilke, A, and R Mata. “Cognitive Bias.” Encyclopedia of Human Behavior, edited by V. S. Ramachandran, 2nd ed., vol. 1, Academic Press, 2012, pp. 531-535.

8 Jason Zweig, How to Ignore the Yes-Man in Your Head,” Wall Street Journal, 11-19-09.

9Eksegesis Alkitab adalah proses sistematis di mana seseorang sampai pada pemahaman yang masuk akal dan koheren tentang makna dan pesan dari suatu bagian Alkitab.” https://www.theopedia.com/exegesisEisegesis adalah tindakan memaksakan makna pada sebuah teks dan sering digambarkan sebagai membaca 'ke dalam' teks daripada 'ke luar' teks. Oleh karena itu, eisegesis adalah kebalikan dari eksegesis.https://www.theopedia.com/eisegesis

10 Aaron Chalmers, “The Influence of Cognitive Biases on Biblical Interpretation” (Bulletin for Biblical Research, 26.4), p. 470-471.

11 School of Thought, as quoted in “24 Cognitive Biases That Are Warping Your Perception of Reality, ” Visual Capitalist, 12-03-18, accessed 5-29-20, https://www.visualcapitalist.com/24-cognitive-biases-warping-reality/

12 “What is the Backfire Effect?” 12-13-19, accessed 5-28-20, https://www.scienceabc.com/humans/what-is-the-backfire-effect-confirmation-bias-psychology.html

13 School of Thought, as quoted in “24 Cognitive Biases That Are Warping Your Perception of Reality, ” Visual Capitalist, 12-03-18, accessed 5-29-20, https://www.visualcapitalist.com/24-cognitive-biases-warping-reality/

14 Sunk Cost Fallacy, Behavioral Economics, https://www.behavioraleconomics.com/resources/mini-encyclopedia-of-be/sunk-cost-fallacy/

15 Lukas 14:27-33.

16 Kisah Rasul 22:3.

17 Roma 10:2.

18 School of Thought, as quoted in “24 Cognitive Biases That Are Warping Your Perception of Reality, ” Visual Capitalist, 12-03-18, accessed 5-29-20, https://www.visualcapitalist.com/24-cognitive-biases-warping-reality/

19 Aaron Chalmers, “The Influence of Cognitive Biases on Biblical InterpretationBulletin for Biblical Research, 26.4, p.476.

20 J.I. Packer, “Fundamentalism” and the Word of God, (Grand Rapids, MI; William B. Eerdmans Publishing, 1958), p. 69-70.

21 Phillips Brooks, Life and Letters of Phillips Brooks, v. III, (Alexander V. G. Allen, New York: E. P. Dutton, 1901), p. 74.

22 J.I. Packer, “Fundamentalism” and the Word of God, (Grand Rapids, MI; William B. Eerdmans Publishing, 1958), p. 69-70.

23 Matius 7:1-5.

24 Kisah Rasul 9:18.


Ini adalah artikel non-WLC. Sumber: https://oneGodworship.com/5-cognitive-biases-that-can-affect-our-theology/

Kami telah mengganti gelar dan nama dalam bahasa Inggris bagi Bapa dan Anak dengan istilah yang digunakan oleh para rasul. Dalam kutipan-kutipan Kitab Suci yang disajikan, kami telah memulihkan nama-nama asli sebagaimana digunakan oleh para penulis yang diilhami. Namun demikian, kami mengakui perkembangan historis yang menyebabkan nama Yahushua diterjemahkan menjadi “Yesus.” Selain itu, kami juga mengakui bahwa istilah bahasa Indonesia “Tuhan” secara umum telah digunakan sebagai padanan bagi istilah Ibrani Eloah atau Elohim. —Tim WLC