Print

Yahushua Kristus: Berinkarnasi atau Diciptakan?

Artikel ini bukan buatan WLC. Saat menggunakan sumber dari penulis luar, kami hanya mempublikasikan konten yang 100% selaras dengan Alkitab dan selaras dengan keyakinan Alkitabiah WLC pada saat ini. Jadi artikel semacam ini bisa dianggap seolah-olah bersumber langsung dari WLC. Kami sangat diberkati oleh pelayanan banyak hamba-hamba Yahuwah. Tetapi kami tidak menyarankan anggota kami untuk mengeksplorasi karya lain dari para penulis ini. Karya lain yang mengandung kesalahan tidak akan kami publikasikan. Sayangnya, kami belum menemukan pelayanan yang bebas dari kesalahan. Jika Anda dikejutkan oleh beberapa konten terbitan yang bukan buatan WLC [baik artikel maupun episode radio], ingatlah kitab Amsal 4:18. Pemahaman kita tentang kebenaran-Nya akan berkembang, seiring bertambah banyaknya terang yang dicurahkan di jalan kita. Kita harus menghargai kebenaran lebih dari hidup itu sendiri, dan mencarinya di mana pun itu dapat ditemukan.

Yahushua Kristus: Berinkarnasi atau Diciptakan?

Kini kita akan menelaah latar belakang sejarah perkembangan salah satu batu penjuru ortodoksi Kristen, yaitu doktrin “Inkarnasi.” Kita akan melihat bahwa doktrin ini tidak muncul dalam ruang hampa, juga tidak berasal secara ketat dari teks Kitab Suci. Doktrin tersebut merupakan hasil pengaruh berbagai keyakinan dan sikap yang berkembang di dalam dan di sekitar gereja Kristen setelah abad pertama. Mitologi berhala, pandangan Gnostik mengenai penebusan dan pra-eksistensi manusia, serta kesalahpahaman terhadap bahasa Yohanes, semuanya berkontribusi pada ajaran bahwa Yahuwah sendiri menjadi manusia, yang merupakan inti dari “teologi inkarnasional.”

Meskipun “Inkarnasi” sering diasumsikan sebagai ajaran dasar Kekristenan, istilah tersebut tidak digunakan dalam Kitab Suci. Hal ini bahkan diakui oleh para sarjana penganut Trinitas: “Inkarnasi, dalam pengertian yang penuh dan tepat, bukanlah sesuatu yang secara langsung disajikan dalam Kitab Suci.” [1] Doktrin Inkarnasi dirumuskan selama beberapa abad berikutnya. Kamus The Oxford Dictionary of the Christian Church menegaskan fakta ini: “Doktrin tersebut, yang memperoleh bentuk klasiknya di bawah pengaruh kontroversi abad ke-4 dan ke-5, secara resmi didefinisikan pada Konsili Kalsedon tahun 451. Doktrin ini sebagian besar dibentuk oleh keragaman tradisi di sekolah-sekolah Antiokhia dan Aleksandria… penyempurnaan lebih lanjut ditambahkan pada periode Patristik dan Abad Pertengahan berikutnya.” [2]

“Inkarnasi, dalam pengertian yang penuh dan tepat, bukanlah sesuatu yang secara langsung disajikan dalam Kitab Suci.”

Alasan mengapa konsili dan sinode membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mengembangkan doktrin Inkarnasi adalah karena doktrin tersebut tidak dinyatakan dalam Kitab Suci, dan ayat-ayat yang digunakan untuk mendukungnya dapat dijelaskan tanpa harus mengandalkan suatu doktrin yang lebih menyerupai mitologi berhala daripada kebenaran Alkitabiah. Mengajarkan kepada orang Yahudi bahwa Yahuwah turun dalam rupa manusia akan sangat menyinggung mereka yang hidup pada zaman Kristus dan para rasul, serta sangat bertentangan dengan pemahaman mereka mengenai Kitab Suci Mesianik. Doktrin ini terutama diturunkan dari Injil Yohanes, khususnya dari frasa dalam Yohanes 1:14 (KJV): “Dan Firman itu telah menjadi daging….” Namun, apakah “Firman” dipahami sebagai sinonim dari “Mesias” dalam pengertian Yahudi? Jelas tidak. Orang Yahudi akan memahaminya sebagai “rencana” atau “tujuan,” yaitu sesuatu yang telah dinyatakan dengan jelas dan spesifik dalam Kejadian 3:15—“keturunan” seorang perempuan yang akan menghancurkan pekerjaan Iblis. Rencana Yahuwah untuk keselamatan manusia ini akhirnya “menjadi daging” dalam diri Yahushua Kristus. Ayat ini tidak menetapkan sebuah doktrin Inkarnasi yang bertentangan dengan seluruh pengharapan nubuat, maupun sebuah ajaran tentang pra-eksistensi. Ayat tersebut merupakan ajaran tentang kasih Yahuwah yang besar dalam mewujudkan rencana-Nya untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa mereka.

Sebelum melanjutkan, kita harus mendefinisikan apa yang secara tradisional dipahami dengan “inkarnasi” Kristus. Perlu ditegaskan bahwa kami dengan kuat menegaskan realitas dan keniscayaan kelahiran dari perawan sebagai satu-satunya cara agar dia dapat dilahirkan tanpa dosa bawaan umat manusia yang akan menggugurkan kelayakannya untuk menjadi Anak Domba Yahuwah. Namun, “rumusan tradisional yang mengabadikan Inkarnasi … adalah bahwa dalam sebuah pengertian Yahuwah, tanpa berhenti menjadi Allah, menjadi manusia.” [3] Kami akan mengutip kamus New Bible Dictionary, sebuah sumber acuan para penganut Trinitas, untuk memberikan definisi kerja dan penjelasan doktrin ini: “Tampaknya hal ini berarti bahwa Sang Pencipta ilahi menjadi salah satu dari ciptaan-Nya sendiri, yang pada kesan pertama merupakan kontradiksi dalam istilah teologis.” [4]

“Ketika Firman ‘menjadi daging,’ keilahian-Nya tidak ditinggalkan, tidak dikurangi, tidak dipersempit, dan Dia tidak berhenti menjalankan fungsi-fungsi ilahi yang telah menjadi milik-Nya sebelumnya… Inkarnasi Anak Yahuwah, dengan demikian, bukanlah pengurangan keilahian, melainkan pengambilan kemanusiaan.” [5]

Muncul pertanyaan bagaimana sesosok “Allah Anak” yang pra-eksisten dapat menjadi manusia tanpa adanya “pengurangan keilahian,” atau bagaimana dia dapat menjalani kehidupan yang “sepenuhnya manusiawi” tanpa berhenti menjalankan fungsi-fungsi ilahi yang telah dijalankannya sejak kekekalan. Kaum penganut Trinitas menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari “misteri” Inkarnasi. Kamus New Bible Dictionary mengakui bahwa konsep ini tidak dikembangkan atau dibahas dalam Perjanjian Baru:

“Satu-satunya pengertian di mana para penulis Perjanjian Baru mencoba menjelaskan inkarnasi adalah dengan menunjukkan bagaimana hal itu sesuai dengan rencana keseluruhan Yahuwah untuk menebus umat manusia… Kepentingan injili ini menjelaskan fakta yang sebaliknya membingungkan bahwa Perjanjian Baru sama sekali tidak merefleksikan kelahiran Yahushua dari seorang perawan sebagai bukti penyatuan keilahian dan kemanusiaan dalam pribadinya—sebuah garis pemikiran yang banyak dibahas oleh teologi kemudian.” [6]

“Jika keilahian Yahushua pada awalnya tidak dinyatakan secara jelas dengan kata-kata (dan Kisah Para Rasul tidak memberi petunjuk bahwa hal itu dinyatakan), hal itu tetap merupakan bagian dari iman yang dengannya orang-orang Kristen pertama hidup dan berdoa… Perumusan teologis mengenai iman kepada Inkarnasi muncul kemudian, tetapi iman itu sendiri, betapapun tidak koheren ungkapannya, telah ada di dalam Gereja sejak awal.” [7]

Kami tidak sependapat dengan pernyataan bahwa doktrin Inkarnasi telah “ada di dalam Gereja sejak awal.” Karena doktrin ini tidak terdapat dalam Kitab Suci, bagaimana mungkin ia dianggap sebagai bagian dari “Ajaran Para Rasul”? Karena para sarjana mengakui bahwa doktrin ini secara Alkitabiah lemah, kita harus menelaah mengapa para teolog Kristen abad ketiga kemudian menjadi begitu terfokus untuk menetapkannya sebagai batu penjuru iman Kristen penganut Trinitas. Dalam proses tersebut, kita akan melihat perubahan asumsi dan keyakinan yang mengarah pada perkembangan doktrin ini. Pertama-tama, kita harus menetapkan bahwa Rasul Paulus telah menubuatkan proses pergeseran dari kebenaran historis menuju mitologi pada akhir hidupnya. Hal ini mengagumkan, namun tidak mengejutkan, mengingat banyaknya peringatan dalam Kitab Suci bahwa Yahuwah telah berulang kali memperingatkan umat-Nya agar tidak dipengaruhi oleh budaya penyembah berhala.

Berpaling dari Kebenaran kepada Dongeng

“Inkarnasi,” dalam pengertian Kristen yang paling umum, adalah keyakinan bahwa Yahushua bukanlah makhluk ciptaan, melainkan Allah yang tidak kelihatan yang “diselubungi” oleh daging manusia. Ini adalah kutipan dari sebuah buku terkini mengenai identitas Yahushua yang diungkap oleh seorang penulis terkenal, katanya: Yahushua “menganggap dirinya sebagai Allah dalam daging manusia.” [8] Dengan demikian, menurut pandangan kami, kisah Alkitab tentang penciptaan Adam Terakhir ditukar dengan sebuah mitos. Gagasan bahwa Yahuwah, atau makhluk roh mana pun, menjadi seorang bayi sepenuhnya tidak selaras dengan kebenaran Alkitabiah.

Kami mengakui bahwa doktrin Inkarnasi bukanlah hasil langsung dari masuknya mitologi berhala, seolah-olah para pemimpin Gereja abad kedua mengarang sebuah kisah yang mereka ketahui akan terdengar seperti mitologi. Namun, kami berpandangan bahwa para pemimpin Gereja pada abad ketiga dan keempat setelah Kristus tidak bersungguh-sungguh membiarkan keseluruhan Kitab Suci menentukan doktrin Kristen. Karena tidak adanya komitmen yang utuh terhadap seluruh Alkitab, mereka salah menafsirkan bahasa Injil Yohanes. Bahasa tersebut digunakan untuk membangun sebuah doktrin yang tidak selaras dengan nubuat Perjanjian Lama, Injil-injil Sinoptik, dan keseluruhan Perjanjian Baru. Akibatnya, pusat pesan Kristen bergeser dari kebangkitan yang terdokumentasi secara historis menjadi doktrin Inkarnasi, suatu gagasan yang mistis, mitologis, dan penuh misteri. Sebagaimana diakui oleh Maurice Wiles, “Gereja selalu mengakui sifat yang sangat misterius dari keyakinan inkarnasional.” [9] —Kami berpendapat bahwa doktrin ini telah lebih banyak melemahkan fondasi inti rasional iman Kristen daripada semua serangan dari apa yang disebut “kaum bidat” jika digabungkan sekalipun.

Gagasan bahwa Yahuwah sendiri datang dan hidup di antara kita dalam rupa manusia menggema dengan mitologi berhala dan, setidaknya, telah membuka pesan Kristen terhadap ejekan yang tidak perlu. Makhluk ilahi yang sudah ada sebelumnya (pra-eksisten) mengambil rupa daging manusia dan dibesarkan oleh orang tua manusia biasa terdengar begitu mitologis sehingga para pengkritik, khususnya orang Yahudi dan Muslim, sering mengejeknya. Sumber dari para penganut Trinitas sendiri mengakui hal ini: “Pernyataan semacam itu, bila dipisahkan dari latar belakang paham satu Tuhan dalam Perjanjian Lama, dapat tampak menghujat atau tidak masuk akal—sebagaimana memang selalu dipandang demikian oleh agama Yahudi ortodoks.” [10]

Robinson membahas karakter mitologis dari pemahaman tradisional dan populer mengenai Inkarnasi, atau “kisah Natal”: “Kristologi tradisional bekerja secara langsung dengan sebuah skema supranaturalis. Agama populer mengekspresikannya secara mitologis, teologi profesional secara metafisis. Dalam cara berpikir ini, Inkarnasi berarti bahwa Allah Anak turun ke bumi dan dilahirkan, hidup, dan mati di dalam dunia ini sebagai manusia. Dari ‘sana,’ dia masuk dengan penuh anugerah ke dalam panggung manusia, dia yang bukan ‘bagian darinya’ namun hidup secara sungguh-sungguh dan sepenuhnya di dalamnya. Sebagai Allah-manusia, dia mempersatukan yang supranatural dan yang natural di dalam pribadinya, dan masalah kristologi adalah bagaimana Yahushua dapat sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, namun tetap sungguh-sungguh satu pribadi. Cara supranaturalis tradisional dalam menggambarkan Inkarnasi hampir tak terelakkan menyiratkan bahwa Yahushua pada hakikatnya adalah Allah Mahakuasa yang berjalan-jalan di bumi, menyamar sebagai manusia. Yahushua bukanlah manusia yang lahir dan dibesarkan—dia adalah Allah yang dalam sebuah waktu yang terbatas, mengambil bagian dalam sebuah sandiwara. Dia tampak seperti manusia, berbicara seperti manusia, merasakan seperti manusia, tetapi di baliknya, dia adalah Allah yang menyamar—seperti Santa Claus…Sesungguhnya, kata ‘inkarnasi’ itu sendiri (yang, tentu saja, bukan istilah Alkitabiah) hampir tak terelakkan menyiratkan hal itu. Kata tersebut membangkitkan gagasan tentang suatu substansi ilahi yang dicelupkan ke dalam daging dan dilapisi olehnya seperti cokelat atau pelapisan perak…Pandangan supranaturalis tentang Inkarnasi tidak pernah benar-benar dapat melepaskan diri dari gagasan tentang sang pangeran yang tampil dalam rupa seorang pengemis. Betapapun sungguh-sungguh melaratnya sang pengemis, dia tetap seorang pangeran, dan pada akhirnya, itulah yang paling penting.” [11]

Sebagian kalangan dalam “aliran Sejarah Agama” bahkan mengusulkan bahwa doktrin Inkarnasi berasal dari mitos penebus Gnostik. [12] Meskipun mitos penebus Gnostik yang spesifik kini dipandang berkembang setelah teori “Allah menjadi manusia” sudah mapan, karakter mitologis dari doktrin Inkarnasi merupakan turunan dan dipengaruhi oleh kepercayaan berhala tentang Allah-manusia pada beberapa abad pertama setelah Kristus. Doktrin tersebut terdengar sangat mirip dengan banyak mitos lain mengenai makhluk ilahi yang datang dan hidup di antara manusia, sehingga sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa para pemikir Kristen menggunakan bahasa agama-agama berhala di mana seharusnya mereka berpegang dengan tekun pada bahasa Alkitab (Kitab Suci).

Gagasan bahwa Allah atau para dewa dapat turun dalam rupa manusia merupakan pandangan umum pada masa Perjanjian Baru. Kita melihat contoh yang jelas mengenai hal ini dalam kitab Kisah Para Rasul, setelah penyembuhan seorang yang lumpuh:

Kisah Para Rasul 14:11-13
(11) Ketika orang banyak melihat apa yang telah dilakukan Paulus, mereka berseru dalam bahasa Likaonia: “Dewa-dewa telah turun ke tengah-tengah kita dalam rupa manusia!”
(12) Barnabas mereka sebut Zeus dan Paulus mereka sebut Hermes, karena dialah yang berbicara.
(13) Imam Zeus, yang kuilnya terletak di luar kota, membawa lembu-lembu jantan dan karangan bunga ke pintu gerbang kota, karena ia bersama-sama dengan orang banyak itu bermaksud mempersembahkan korban.

Perlu dicatat bahwa Paulus dan Barnabas tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk menjelaskan bahwa mereka bukan dewa yang turun dalam rupa manusia, melainkan Yahushua (yang seharusnya “Allah-menjadi-manusia”). Sebaliknya, mereka menentang dasar mitologis dari kepercayaan dan praktik berhala tersebut:

Kisah Para Rasul 14:14-15
(14) Tetapi ketika rasul-rasul Barnabas dan Paulus mendengar hal itu, mereka mengoyakkan pakaian mereka dan berlari ke tengah-tengah orang banyak itu sambil berseru:
(15) “Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat demikian? Kami ini sama-sama manusia biasa seperti kamu juga. Kami memberitakan kabar baik kepada kamu, supaya kamu berbalik dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia itu kepada Yahuwah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya.”

Sebagaimana disiratkan oleh bagian Kitab Suci ini, kebanyakan orang yang dipengaruhi oleh agama dan budaya Yunani dan Romawi percaya kepada berbagai mitos yang melibatkan percampuran para dewa, manusia, perempuan, bahkan hewan. Sebagai contoh, orang Romawi percaya bahwa Romulus dan Remus adalah anak kembar yang lahir dari seorang ibu manusia dan Mars, dewa perang. Dikisahkan bahwa mereka dihanyutkan dalam sebuah keranjang di Sungai Tiber. Seekor serigala betina menemukan bayi-bayi itu dan membesarkan mereka. Seorang gembala kemudian menemukan si kembar dan membesarkan mereka hingga dewasa. Kedua bersaudara itu memutuskan untuk membangun sebuah kota di tempat serigala menemukan mereka, tetapi Romulus membunuh Remus dan konon mendirikan Roma pada tahun 753 SM.

Panteon mitologis Romawi mencakup sebuah triad, yakni sekelompok tiga dewa yang terdiri dari Jupiter, Mars, dan Quirinus. Jupiter adalah dewa langit dan Mars dewa perang, sementara Quirinus mewakili rakyat jelata (orang Yunani tidak memiliki dewa serupa). Menjelang akhir tahun 500-an SM, orang Romawi menggantikan triad kuno tersebut dengan triad lain yang terdiri dari Jupiter, Juno, dan Minerva. Juno dikaitkan dengan Hera [istri Zeus], dan Minerva dengan Athena, yang lahir sepenuhnya dewasa dari kepala Zeus.

Dewa utama dalam panteon Yunani, Zeus, mengunjungi perempuan manusia Danae dalam rupa hujan emas dan memperanakkan Perseus, seorang “Allah-manusia.” Hercules (Herakles) adalah putra Zeus, yang menipu Alcmena dengan menyamar sebagai suaminya, jenderal Amphitryon. Dalam perjalanannya ke alam maut, Hercules menjadi penyelamat bagi bangsanya.

Mitos berhala lain yang sangat dekat dengan gagasan Inkarnasi adalah mitos Dionysus. A. N. Wilson mengutip mitos ini sebagai contoh dari apa yang ia anggap sebagai pemitologian Kristen oleh Rasul Paulus:

“Dionysus menanggalkan sifat ilahinya dan berjalan di dunia manusia dalam penyamaran…Dionysus, sang dewa yang menyamar dalam rupa manusia, mengatakan kepadanya bahwa upayanya untuk melawan gerakan baru itu akan sepenuhnya sia-sia; ia tidak sedang melawan darah dan daging, melainkan melawan seorang dewa. ‘Engkau adalah fana; dia adalah dewa. Jika aku berada di posisimu, aku akan menahan amarahku dan mempersembahkan korban kepadanya, daripada menendang duri.’” [Dari Euripides, The Bacchae]. [13]

Para pengkritik Kekristenan seperti Wilson memperoleh bahan ejekan dari kemiripan Inkarnasi dengan mitologi-mitologi berhala ini dan mencemooh gagasan bahwa Yahushua adalah “Allah” yang dimanifestasikan. Sudah cukup banyak hal dalam pesan Kristen yang sejati yang akan dianggap problematis oleh para pengkritik. Mengapa harus memutarbalikkan Kitab Suci dan dengan demikian memberi mereka amunisi yang sah?

Kepercayaan kepada mitos bersifat endemik dalam umat manusia. Salah satu keunggulan mitos, legenda, dan cerita dibandingkan kebenaran historis adalah bahwa yang pertama dapat diubah kapan saja, dan sedikit orang yang keberatan selama ceritanya menjadi lebih menarik. Karena mitos sering membentuk inti identitas suatu bangsa dan rasa nilai mereka dalam kosmos, manusia cenderung mempercayai kisah-kisah yang meninggikan status mereka dengan mencampurkan yang ilahi dengan sejarah mereka. Mitologi merupakan bagian integral dari kehidupan orang kebanyakan pada abad pertama, dan banyak penguasa berusaha mengaitkan kelahiran mereka dengan seorang dewa. Karena latar belakang mitologis agama-agama berhala pada zamannya ini, Rasul Paulus berusaha keras untuk menyampaikan dasar historis dan Kitab Suci dari iman kepada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus sesuai dengan nubuat-nubuat yang telah diucapkan beberapa generasi sebelumnya. Bertolak belakang dengan mitos yang diciptakan manusia dan tidak memiliki kemungkinan verifikasi, Paulus dan orang-orang percaya dari Gereja mula-mula menyatakan iman mereka kepada seorang Mesias yang merupakan tokoh historis yang hidup dan secara spesifik dinubuatkan. Hanya Allah yang sejati yang dapat menyatakan maksud-Nya jauh sebelumnya dan kemudian menggenapinya secara sempurna dengan cara yang dapat diverifikasi oleh para saksi mata dan oleh para pelajar Alkitab pada masa-masa berikutnya.

Bertolak belakang dengan mitos yang diciptakan manusia dan tidak memiliki kemungkinan verifikasi, Paulus dan orang-orang percaya dari Gereja mula-mula menyatakan iman mereka kepada seorang Mesias yang merupakan tokoh historis yang hidup dan secara spesifik dinubuatkan. Hanya Allah yang sejati yang dapat menyatakan maksud-Nya jauh sebelumnya dan kemudian menggenapinya secara sempurna dengan cara yang dapat diverifikasi oleh para saksi mata dan oleh para pelajar Alkitab pada masa-masa berikutnya.

Tidak seorang pun pernah menjadi saksi mata atas dongeng-dongeng mitologi, yang dipertahankan hidup oleh kecenderungan untuk terlalu cepat percaya (kredulitas) naif para penganut agama-agama berhala. Tidak pula kedatangan tokoh mitologis mana pun dinubuatkan secara akurat berabad-abad sebelumnya dalam suatu kumpulan literatur nubuat yang koheren. Oleh karena itu, iman Kristen berdiri sendiri di antara semua sistem kepercayaan dunia, yang—kecuali agama Yahudi—berdasarkan pada mitologi yang tidak dapat diverifikasi. Bahkan “agama” sekuler Evolusionisme pun berlandaskan pada sebuah mitos besar: bahwa kosmos yang tersusun dengan sangat teratur muncul secara spontan oleh kebetulan dari kekacauan, kemudian bertambah kompleks secara bertahap melalui serangkaian mutasi kecil yang acak, dan akhirnya menghasilkan pikiran Charles Darwin dan Carl Sagan, yang dianggap cukup “cerdas” untuk membayangkan dan merasionalisasi dongeng yang tidak masuk akal tersebut. Sebaliknya, orang-orang Kristen diharapkan mendasarkan iman mereka pada landasan yang rasional, bersumber pada Kitab Suci, dan dapat diverifikasi secara historis, sehingga penemuan-penemuan di kemudian hari tidak dapat mendiskreditkan kesaksian mereka.

J. A. T. Robinson merangkum secara lugas pengertian di mana Yahushua mewujudkan atau “menginkarnasikan” Yahuwah, bukan sebagai sosok mitologis, melainkan sebagai Dia yang diutus oleh Yahuwah untuk mewakili-Nya dan melakukan kehendak-Nya dengan sempurna: “Yahushua adalah seorang manusia yang menginkarnasikan dalam segala hal sebagaimana dia ada dan lakukan dan menjadi Logos yang adalah Yahuwah. Ia adalah Anak, cermin dari Yahuwah, yang adalah Allah bagi manusia dan di dalam manusia. ‘Aku’ dari Yahushua berbicara Yahuwah, bertindak Yahuwah. Ia mengucapkan hal-hal dari Yahuwah; ia melakukan pekerjaan-pekerjaan Yahuwah. Ia adalah wakil berkuasa penuh-Nya, yang sepenuhnya diutus untuk mewakili-Nya—sebagai seorang manusia. Ia berbicara dan bertindak dengan ‘Aku’ yang satu dengan Yahuwah, sepenuhnya teridentifikasi namun tidak identik, wakil-Nya tetapi bukan pengganti-Nya—dan tentu bukan replika-Nya, seolah-olah ia adalah Yahuwah yang menyamar sebagai manusia. Ia bukanlah makhluk ilahi yang datang ke bumi, sebagaimana metamorfosis Ovidius, [14] dalam rupa seorang manusia, melainkan manusia yang secara unik dan sepenuhnya normal, di dalam dirinya logos Yahuwah atau aktivitas ekspresif-diri-Nya terwujud secara total.” [15]

Yahushua tidak mengajukan klaim apa pun bagi dirinya sendiri secara mandiri dan, pada saat yang sama, mengajukan klaim yang paling agung mengenai apa yang Yahuwah lakukan melalui dirinya dan secara unik melalui dirinya. Yahushua secara pribadi tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Yahuwah, sebaliknya dia pada akhirnya senantiasa mengklaim bahwa Yahuwah ada bersamanya. [16]

Sebuah argumen kuat yang menentang gagasan bahwa Yahuwah menjadi manusia untuk menebus kita adalah bahwa tidak satu pun nubuat mendukung gagasan tersebut. Di mana pun dalam keseluruhan Literatur Nubuat tidak pernah dikatakan bahwa Yahuwah bermaksud menjadikan diri-Nya manusia untuk menebus umat manusia. Semua nubuat menubuatkan seorang manusia yang secara unik memenuhi syarat dan diperlengkapi untuk memerintah, berkuasa, dan menegakkan kebenaran di bumi. Oleh sebab itu, Setan terus-menerus berusaha menghancurkan garis keturunan Mesias setiap kali ia mampu menentukan arahnya. Ketika Abraham dipilih, Setan meningkatkan kefasikan Sodom dan Gomora. Ketika Yakub diidentifikasi sebagai orang yang melaluinya Kristus akan datang, ia dan anak-anaknya menjadi sasaran serangan Setan.

Kisah ini konsisten sepanjang Perjanjian Lama dan juga terlihat dalam Perjanjian Baru. Begitu Herodes mengetahui bahwa bayi itu telah lahir, Setan mengilhaminya untuk membunuh anak itu. Apakah Setan akan sedemikian bertekad untuk menghancurkan anak tersebut jika ia mengetahui bahwa itu adalah Yahuwah sendiri yang menjadikan diri-Nya seorang bayi? Apakah ia berpikir bahwa dengan membunuh bayi itu ia dapat menghancurkan Yahuwah? Gagasan semacam itu sama sekali asing bagi Literatur Nubuat, yang direduksi secara radikal oleh anggapan bahwa sejak semula Yahuwah bermaksud datang sendiri. Kita tidak pernah membaca bahwa suatu suara menggelegar dari Gunung Sinai atau dari tempat lain: “Jangan buat Aku turun ke sana!”

Pengharapan Mesianik, pada akarnya, adalah pengharapan akan seorang manusia yang dapat mewakili Yahuwah di bumi. Itulah sebabnya nubuat menyatakan dengan sangat jelas, “Roh Yahuwah akan ada padanya….” (Yes. 11:2). Manusia ini tentu akan memiliki atribut-atribut ilahi tertentu untuk melaksanakan tugasnya, namun terlalu jauh jika dikatakan—sebagaimana dinyatakan oleh Kamus New Bible Dictionary—bahwa:

“Penyandangan oleh Perjanjian Lama atas berbagai gelar, fungsi, dan relasi kepada Yahuwah telah mempersiapkan pikiran Yahudi bagi doktrin Kristen tentang keilahian tritunggal, yang niscaya berkaitan dengan Inkarnasi.” [17]

Faktanya, tidak ada sesuatu pun yang mempersiapkan pikiran Yahudi bagi gagasan tentang Allah Tritunggal, sebagaimana dibuktikan oleh jutaan orang Yahudi monoteis yang hingga kini tetap menganggap gagasan tersebut tidak masuk akal.

Dapatkah Hanya Yahuwah Menyelamatkan?

Ketika pengaruh halus doktrin Gnostik menyusup ke dalam Gereja, para pemimpin dan pengajar Gereja mula-mula mulai menerima anggapan bahwa agar Kristus dapat menjadi Penebus, ia harus melampaui ciptaan, yakni menjadi makhluk yang tidak diciptakan, bagian dari keilahian yang kekal. [18] Mereka menalar bahwa makhluk ciptaan tidak dapat menebus ciptaan, melainkan hanya Yahuwah sendiri. Kini kami akan berupaya membuktikan bahwa kedua asumsi ini tidak didukung oleh bukti Alkitabiah dan bahwa masing-masing telah menuntun kepada kesimpulan yang tidak alkitabiah, yakni bahwa Yahushua Kristus adalah Yahuwah yang “berinkarnasi.” Selanjutnya, kami akan menunjukkan bahwa penalaran ini masih berlaku dalam Gereja Kristen hingga hari ini meskipun terdapat bukti Alkitabiah yang berlawanan.

Kita harus mempertimbangkan asumsi bahwa Kristus harus “tidak diciptakan,” “kekal,” dan “sepenuhnya Allah.” Kami meyakini bahwa gagasan ini tidak berasal dari Alkitab, melainkan diperkenalkan di bawah pengaruh kepercayaan Gereja akan Yahuwah yang transenden (melampaui segalanya) dan sepenuhnya terpisah dari proses penciptaan. [19] Sesungguhnya, salah satu ciri utama pemikiran Gnostik adalah bahwa Yahuwah bukanlah Pencipta dari ciptaan yang sekarang ini—yang dianggap jahat—melainkan kosmos ini adalah karya suatu dewa yang lebih rendah dan jahat yang disebut “demiurgos.” Konsep ini sepenuhnya bersifat spekulatif dan mitologis, namun ia memengaruhi arah pengajaran Gereja. Penerimaan mitos ke dalam inti Injil Kristen menaburkan benih bagi pengerdilan yang fatal terhadap kuasa pesan Injil. Sesungguhnya, validitas historis Yahushua dari Nazaret sebagai Mesias yang dijanjikan merupakan inti Injil dan unsur yang niscaya bagi keselamatan, sebab kita harus percaya bahwa Yahuwah telah membangkitkan dia dari antara orang mati. Artinya, kita diminta untuk mempercayai validitas suatu peristiwa historis karena peristiwa itu—tidak seperti yang lain—menunjukkan dan membuktikan bahwa Yahushua dari Nazaret adalah siapa yang ia nyatakan tentang dirinya: Anak dari Yahuwah yang hidup, Kristus, Tuan.

Roma 10:9
Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, “Yahushua adalah Tuan,” dan percaya dalam hatimu bahwa Yahuwah telah membangkitkan dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.

Kita tidak diharapkan untuk “beriman” kepada kebangkitan tanpa bukti seolah-olah kita adalah anak-anak yang mempercayai Kelinci Paskah atau Peri Gigi. Kita melihat dari Kisah Para Rasul 1:3 bahwa Kristus memberikan kepada para murid banyak bukti yang meyakinkan tentang kebangkitannya:

Kisah Para Rasul 1:3
Kepada mereka ia juga menunjukkan dirinya setelah penderitaannya dan dengan banyak tanda membuktikan bahwa ia hidup. Selama empat puluh hari ia menampakkan diri kepada mereka dan berbicara tentang Kerajaan Yahuwah.

Isu mengenai validitas historis Injil Kristen, khususnya Kebangkitan, ditegaskan dengan kuat dalam Perjanjian Baru sebagai bagian dari “ajaran rasul-rasul.” Rasul Paulus berargumen dalam 1 Korintus 15:12–19 bahwa jika Yahushua tidak dibangkitkan dari antara orang mati, maka iman dan pemberitaan kita adalah sia-sia (tidak berguna dan hampa), dan kita masih berada dalam dosa-dosa kita. Setiap doktrin yang mengompromikan landasan historis iman Kristen ini patut dicurigai setinggi-tingginya. Kebangkitan Kristus adalah poros Injil dan peneguhan akan ke-Anak-an dan ke-Mesias-annya. Fakta Kebangkitan sebagai bukti Mesias-itas Yahushua dari Nazaret inilah yang dikemukakan oleh Gereja mula-mula. Inilah kebenaran historis yang menjadi dasar Injil Kristen.

Namun demikian, bahkan pada masa kini, sering terdengar para pengajar dan penafsir Alkitab yang dihormati mengatakan bahwa inti Injil adalah bahwa “Yahuwah menjadi manusia dan mati bagi dosa-dosa kita.” Seorang pembela modern teologi inkarnasional berargumen bahwa jika seseorang tidak percaya bahwa Yahushua adalah Yahuwah yang berinkarnasi, orang itu akan mati dalam dosa-dosanya. Ayat yang digunakannya untuk mendukung posisi ini terdapat (tentu saja!) dalam Injil Yohanes. Kami akan mengutip ayat tersebut persis sebagaimana muncul dalam buletinnya dengan tanda kurung sisipan darinya: [20]

Yohanes 8:24b (KJV)
…sebab jika kamu tidak percaya bahwa Aku adalah dia [Yahuwah], kamu akan mati dalam dosa-dosamu.

Kami sangat tidak sependapat dengan penafsiran ini dan menegaskan bahwa makna sebenarnya dari ayat tersebut jelas dalam terang tujuan Injil Yohanes yang dinyatakan: untuk membuktikan bahwa Yahushua adalah Kristus, Anak dari Yahuwah yang hidup (20:31; bdk. Mat. 16:16). Dengan kata lain, jika seseorang memilih untuk tidak percaya kepada korban pendamaian Yahushua Kristus sebagai Penebus umat manusia, ia akan mati dalam dosa-dosanya. Melampaui ayat yang sederhana dan mudah dipahami ini, lalu menegaskan—sebagaimana dilakukan Kekristenan ortodoks—bahwa seseorang harus percaya bahwa Yahushua adalah Yahuwah yang berinkarnasi atau ia akan mati dalam dosa-dosanya, menurut pandangan kami, sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Jika hanya satu orang saja yang terhalang untuk menerima korban Kristus bagi dirinya karena ajaran ini, itu sudah terlalu banyak. Namun, tidak diragukan lagi, sebagian orang telah mengira diri mereka terhilang dalam dosa-dosa hanya karena mereka tidak dapat mempercayai pandangan penganut Trinitas bahwa Yahuwah menjadi manusia.

Apologet yang disebut di atas bagi ortodoksi selanjutnya mengomentari tentang perlunya Penebus itu adalah Yahuwah sendiri. Penalarannya pada dasarnya sama dengan cara berpikir orang-orang Kristen yang berada di bawah pengaruh Gnostisisme pada abad-abad setelah Kristus: “Sepanjang Perjanjian Lama, Yahuwah mengatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Juruselamat. Hal ini pasti benar karena keselamatan adalah pekerjaan yang tak terbatas, yang di dalamnya—sebagaimana semestinya—termasuk pembayaran penuh atas hukuman tak terbatas bagi dosa yang dituntut oleh keadilan Yahuwah yang tak terbatas—sesuatu yang hanya dapat dikerjakan oleh Yahuwah. Karena itu, agar Yahushua dapat menjadi Juruselamat kita, Ia haruslah Yahuwah. Paulus menyebutnya ‘Yahuwah Juruselamat kita’ (1 Tim. 1:1, 2:3; Titus 1:3 dan 4, 2:10 dan 13, 3:4) demikian pula Petrus (2 Pet. 1:1) dan Yudas (ay. 25)…Dengan demikian, Yahuwah dalam kasih dan karunia-Nya yang tak terbatas menjadi manusia melalui kelahiran dari seorang perawan supaya Dia, sebagai manusia, dapat menanggung penghukuman yang seharusnya kita tanggung dan membuat kita dapat diampuni.”

Logika argumen ini dimulai dengan premis bahwa hanya Yahuwah yang dapat menyelamatkan. Selain pengaruh pemikiran berhala, gagasan ini berasal dari fakta bahwa Yahuwah disebut “Juruselamat” dalam Kitab Suci. Misalnya:

Yesaya 43:11
Akulah, Akulah Yahuwah dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku.

Karena ayat di atas tampaknya mengatakan bahwa Yahuwah adalah satu-satunya juruselamat, maka argumennya adalah bahwa Yahushua haruslah Yahuwah agar dapat menyelamatkan kita; dan jika ia bukan Yahuwah, maka ia tidak menyelamatkan kita, dan kita akan mati dalam dosa-dosa kita. Namun ini adalah argumen yang menyesatkan karena gagal dalam beberapa hal. Pertama, ia gagal mengenali pembedaan antara Yahuwah sebagai Penggagas keselamatan dan Kristus sebagai Pelaksana. [21] Yahuwah, Kristus, dan yang lain semuanya disebut sebagai “juruselamat,” tetapi hal itu jelas tidak menjadikan mereka identik. Istilah “juruselamat” digunakan bagi banyak orang di dalam Alkitab. Ini sulit terlihat dalam versi-versi Inggris karena, ketika istilah itu dikenakan pada manusia, para penerjemah hampir selalu menerjemahkannya sebagai “pembebas.” Misalnya:

Nehemia 9:27
Maka Engkau menyerahkan mereka ke dalam tangan musuh-musuhnya, yang menindas mereka. Tetapi pada waktu mereka mengalami kesesakan, mereka berteriak kepada-Mu, dan Engkau mendengarnya dari sorga; dan karena rahmat-Mu yang besar Engkau mengaruniakan kepada mereka penyelamat-penyelamat, yang menyelamatkan mereka dari tangan musuh-musuhnya.

Hal ini menunjukkan bahwa penerjemah modern memiliki bias penganut Trinitas yang tidak terdapat dalam bahasa aslinya. Satu-satunya alasan untuk menerjemahkan kata yang sama sebagai “Juruselamat” ketika dikenakan pada Yahuwah atau Kristus, tetapi sebagai “pembebas” ketika dikenakan pada manusia, ialah untuk membuat istilah tersebut tampak unik bagi Yahuwah dan Yahushua, padahal sebenarnya tidak demikian. Ini merupakan contoh yang baik tentang bagaimana makna Kitab Suci yang sesungguhnya dapat dikaburkan apabila para penerjemah tidak berhati-hati atau memiliki bias teologis.

Penyediaan “juruselamat-penyelamat” oleh Yahuwah karena anugerah-Nya tidak dikenali ketika kata yang sama diterjemahkan “juruselamat” bagi Yahuwah dan Kristus, tetapi “pembebas” bagi yang lain. Yang juga hilang ialah kesaksian Kitab Suci bahwa Yahuwah bekerja melalui manusia untuk menyatakan kuasa-Nya. Tentu saja, fakta bahwa ada “juruselamat” lain tidak mengurangi peran Yahushua Kristus, satu-satunya yang dapat dan memang telah menyelamatkan kita dari dosa-dosa dan maut kekal.

Kedua, istilah “juruselamat” harus dipahami dalam kaitannya dengan dari apa orang-orang itu “diselamatkan.” “Penyelamatan” Yahuwah sebelum Anak-Nya datang adalah membebaskan umat-Nya dari berbagai perbudakan dan pembuangan, bukan keselamatan yang final, yaitu menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka. Pekerjaan itu harus menunggu sampai kelahiran seorang manusia yang adalah Anak Domba Yahuwah (dari Yahuwah), bukan “ALLAH” yang menjadi Anak Domba.

Masalah ketiga dari argumen ini adalah bahwa ia gagal mempertimbangkan sebuah idiom umum yang digunakan dalam ucapan-ucapan nubuat, yaitu tindakan-tindakan sering kali langsung diatribusikan kepada Yahuwah, padahal sebenarnya tindakan itu akan dilaksanakan oleh para agen-Nya. Matius 1:21 menyatakan bahwa nama “Yahushua” berarti “Yahuwah menyelamatkan,” lalu memberikan suatu ucapan nubuat berdasarkan nama itu: “…karena dialah yang akan menyelamatkan umatnya dari dosa mereka.” Namanya berarti “Yahuwah menyelamatkan,” namun ayat itu mengatakan bahwa “dia [Yahushua] akan menyelamatkan.” Bahasa ini memiliki latar belakang Alkitabiah yang kaya dan harus dipahami dengan jelas agar tidak menimbulkan kebingungan.

Yahushua adalah nama yang sama dengan “Yosua” yang terkenal dalam Perjanjian Lama. Dengan mempelajari catatan-catatan Alkitabiah yang relevan, kita belajar bahwa Yahuwah tidak “menyelamatkan” Israel dengan melakukan pekerjaan itu sendiri, atau dengan menjadi Yosua. Yosua “menyelamatkan” Israel dengan menaati Yahuwah dan memimpin bani Israel keluar dari padang gurun masuk ke Tanah Perjanjian. Keselamatan itu dikerjakan oleh Yahuwah, yang menguatkan Yosua dan umat yang maju dengan iman untuk menuntut kemenangan yang Yahuwah jaminkan bagi mereka apabila mereka meraihnya. Namun menjelang penyelesaian kemenangan oleh Yosua tersebut terdapat beberapa ucapan nubuat yang diucapkan oleh Yahuwah sendiri, yang dengan tegas menyatakan bahwa Dia akan melakukannya. Misalnya:

Keluaran 23:23, 27, dan 28
(23) Sebab malaikat-Ku akan berjalan di depanmu dan membawa engkau ke negeri orang Amori, orang Het, orang Feris, orang Kanaan, orang Hewi dan orang Yebus, dan Aku akan melenyapkan mereka.
(27) Aku akan mengirimkan kegentaran terhadap-Ku mendahului engkau dan membuat kacau seluruh bangsa yang akan kauhadapi, dan Aku akan membuat semua musuhmu lari membelakangi engkau.
(28) Aku akan mengirimkan penyengat mendahului engkau, yang akan mengusir orang Hewi, orang Kanaan dan orang Het dari depanmu.

Nampak sangat jelas dalam ayat 23 bahwa Yahuwah berkata bahwa Dia sendiri akan melakukan pembebasan itu. Namun, dalam konteks yang sama, beberapa ayat kemudian, Dia berkata bahwa orang Israel akan mengusir musuh-musuh-Nya:

Keluaran 23:31
Aku akan menetapkan perbatasanmu mulai dari Laut Teberau sampai ke Laut orang Filistin, dan dari padang gurun sampai ke sungai Efrat; sebab Aku menyerahkan penduduk negeri itu ke dalam tanganmu dan engkau akan menghalau mereka dari depanmu.

Apa yang sedang terjadi? Apakah Yahuwah “juruselamat” di sini atau tidak? Faktanya, ini merupakan ciri khas bahasa nubuat. [22] Prinsip yang kita lihat berulang-ulang dalam Kitab Suci ialah ini: Yahuwah mengatakan bahwa “Dia akan melakukan” sesuatu yang akan Ia kuasakan kepada hamba-hamba-Nya untuk mereka lakukan dengan pertolongan-Nya. Lebih khusus, ketika Yahuwah mengatakan bahwa Ia akan melakukan sesuatu, maksudnya ialah bahwa Ia akan mengutus seseorang yang akan Ia sertai untuk melaksanakan kehendak-Nya. Dalam kasus di atas, itu adalah Yosua, tetapi juga Musa, Gideon, para hakim lainnya, Daud, dan banyak lainnya yang menjadi agen aktif dari keselamatan yang Yahuwah “kerjakan.” Dalam hal mengutus seseorang untuk mati bagi dosa-dosa kita, Ia mengutus Yahushua, yang namanya berasal dari nama yang sama dengan Yosua. Hanya jarang dalam Kitab Suci Yahuwah bertindak secara berdaulat (yakni tanpa agen manusia), dan dalam kasus Yahushua, Ia tidak mengambil perkara itu ke tangan-Nya sendiri. Sebaliknya, Ia mempercayakan kehendak-Nya kepada tangan Anak-Nya yang terkasih, yang penuh kasih dan taat. Seperti cara-Nya sejak semula, Yahuwah mengutus pribadi yang sempurna ke dalam pertempuran dan bekerja bersamanya sampai tugas itu tuntas. Maka, dalam arti yang sejati, baik Yahuwah maupun Yahushua “menyelamatkan” kita, sebagaimana para pahlawan Perjanjian Lama “menyelamatkan” Israel; karena itu, tepatlah jika masing-masing disebut “juruselamat.”

Kami sepakat bahwa manusia, dalam kondisi jatuhnya, tidak mungkin menghasilkan kandidat yang memenuhi syarat untuk tugas Mesias, maupun memulai sesuatu yang menghasilkan penebusan umat manusia. Karena dosa melekat pada manusia, dan karena upah dosa ialah maut, kematian suatu korban diperlukan untuk mengadakan pendamaian (Ibr. 9:22). Darah binatang tidak memenuhi persyaratan pendamaian yang lengkap secara memuaskan, meskipun secara sementara memadai sebelum masa Kristus oleh kasih karunia Yahuwah. Sebagai Roh, Yahuwah tidak memiliki darah; lagi pula, Yahuwah yang tidak dapat mati dan kekal tidak dapat mati. Karena itu, satu-satunya solusi ialah bahwa seorang manusia dengan darah yang sempurna (yakni manusia tanpa dosa) harus mati. Namun karena semua manusia telah tercemar oleh dosa, tidak akan ada kemungkinan adanya manusia tanpa dosa tanpa intervensi ilahi yang langsung. Namun, kami harus menolak proposisi bahwa Yahuwah hanya dapat memenuhi persyaratan penebusan dengan menjadi manusia sendiri.

Berlawanan dengan asumsi bahwa Kristus haruslah Yahuwah agar penebusan dapat terlaksana, kita mendapati, setelah diteliti lebih dekat, bahwa kebalikannya justru harus benar: bahwa kecuali ia adalah manusia, Yahushua tidak mungkin menebus umat manusia. Sifat “tak terbatas” Yahuwah menghalangi-Nya menjadi penebus kita karena Yahuwah tidak dapat mati. Karena itu, Ia mengutus seorang manusia yang diperlengkapi untuk tugas tersebut, seorang yang dapat mati bagi dosa-dosa kita dan kemudian dibangkitkan dari antara orang mati untuk mengalahkan maut selama-lamanya. Inilah kesaksian Kitab Suci yang jelas.

Roma 5:15
Tetapi karunia itu tidaklah sama dengan pelanggaran. Sebab, jika oleh pelanggaran satu orang manusia [Adam] semua orang telah mati, maka lebih besar lagi kasih karunia Yahuwah dan karunia-Nya yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang manusia, yaitu Yahushua Kristus.

Jika memang merupakan pokok ajaran sentral Kekristenan bahwa penebusan harus dilakukan oleh Yahuwah sendiri, maka bagian Roma ini akan menjadi tempat yang paling tepat untuk menyatakannya. Namun tepat ketika Kitab Suci dapat menyelesaikan perdebatan itu untuk selamanya, Kitab Suci mengatakan bahwa penebusan harus dilaksanakan oleh seorang manusia. Imajinasi teologis “orang-orang terpelajar” bahwa hanya Yahuwah yang dapat menebus umat manusia dibuat batal demi hukum oleh suara Yahuwah sendiri yang tak terbantahkan melalui Kitab Suci: seorang manusia harus melakukan pekerjaan itu. Bukan sembarang manusia, melainkan manusia tanpa dosa, manusia yang lahir dari seorang perawan—MANUSIA itu, Yahushua, yang kini adalah Manusia yang ditinggikan untuk menempati posisi sebagai “Tuan” di sebelah kanan Yahuwah.

Inti iman Kristen bukanlah “inkarnasi” yang mitologis dan mistis, yang menurutnya Yahuwah konon menjadi manusia, melainkan peristiwa historis: kematian seorang manusia yang sepenuhnya benar pada kayu salib, lalu pembangkitannya dari antara orang mati oleh Yahuwah kepada hidup yang kekal. Kebenaran yang sederhana namun berkuasa ini mulai dipertukarkan dengan sebuah “misteri.” [23]

Ciptaan, Bukan Inkarnasi

Yahushua dengan jelas merujuk kepada dua kategori yang berbeda dalam Yohanes 3:6 ketika ia berkata bahwa “Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh.” Yahushua dengan tegas menyatakan Yahuwah sebagai “Roh” (Yohanes 4:24). Perhatikan bahwa ia tidak berkata, “Aku adalah roh,” atau “Yahuwah adalah daging,” atau bahkan “Bapa adalah roh.” Dengan menempatkan “Yahuwah” ke dalam kategori “roh,” sementara ia sendiri jelas adalah manusia dari daging dan darah, Yahushua secara efektif menutup segala kemungkinan bahwa ia adalah Yahuwah. Jika Yahuwah, yang adalah roh, dapat menginkarnasikan diri-Nya sebagai manusia, maka pembedaan Kitab Suci yang jelas antara daging dan roh menjadi runtuh. Namun Yahuwah Sang Pencipta, yang adalah Roh, dapat menciptakan daging, sebagaimana Ia lakukan dalam kitab Kejadian pasal 1. Roh-Nya melayang-layang di atas permukaan air, memanggil menjadi ada hal-hal yang sebelumnya tidak ada. Hal-hal ini berada “dalam daging,” tetapi bukan Dia. Itu adalah ciptaan-Nya, namun Ia berdiri terpisah dari ciptaan itu dan menilai bahwa semuanya itu sungguh amat baik.

Penciptaan adalah cara Yahuwah mewujudkan hal-hal di luar apa yang akan terjadi secara alami. Ia menyebabkan suatu kehidupan manusia dimulai dalam rahim Maria melalui tindakan penciptaan adikodrati, bukan inkarnasi yang mistis (Mat. 1:18; Luk. 1:35). Ia menantikan seorang perempuan yang bersedia mengandung anak ini, seorang perempuan yang pengakuan dan kesaksiannya layak bagi kehormatan yang dianugerahkan kepadanya. Dengan cara ini, Ia menghadirkan ke dunia seorang manusia yang memenuhi syarat untuk menjadi Mesias. Itu barulah rintangan pertama saja. Setelah itu Ia harus bekerja bersama anak yang sedang bertumbuh itu untuk menolongnya mempertahankan kondisi tanpa dosanya sampai tiba waktunya ia dapat diurapi dengan roh kudus dan dengan demikian diperlengkapi kuasa untuk melakukan pekerjaan yang kepadanya ia dipanggil (Kis. 10:38). Ya, Yahuwah harus menyediakan (melalui penciptaan) tubuh yang dapat dikorbankan. Namun, Yahushua harus menaati-Nya tanpa cacat agar tubuhnya akhirnya menjadi korban yang sempurna sebagaimana yang diperlukan. Dengan demikian, Yahuwah dan Yahushua masing-masing memiliki tanggung jawab yang tidak dapat dilakukan oleh yang lain dan yang darinya penebusan kita bergantung.

Penciptaan adalah cara Yahuwah mewujudkan hal-hal di luar apa yang akan terjadi secara alami. Ia menyebabkan suatu kehidupan manusia dimulai dalam rahim Maria melalui tindakan penciptaan adikodrati, bukan inkarnasi yang mistis (Mat. 1:18; Luk. 1:35).

Mari ditegaskan kembali bahwa gagasan ‘Yahushua adalah Yahuwah dalam daging manusia’ meniadakan keniscayaan mutlak dari ketaatan Kristus, sebab, sebagai Yahuwah, tidak ada pencobaan yang ia hadapi yang dapat bersifat sungguh-sungguh. Yahuwah tidak dapat dicobai karena Yahuwah tidak dapat berdosa (Yakobus 1:13). Juga merupakan aksioma bahwa Yahuwah tidak dapat “taat” maupun “tidak taat” kepada diri-Nya sendiri. Ia pun tidak perlu memerintahkan diri-Nya melakukan apa pun, sebab sebagai Yahuwah, Pribadi moral yang sempurna, Ia selalu bertindak tepat waktu dan dalam kebenaran yang sempurna.

Masalah lain yang tidak dapat dipecahkan yang diakibatkan oleh “inkarnasi” adalah bahwa doktrin ini merusak rancangan yang ditetapkan Yahuwah tentang Adam pertama dan Adam terakhir. Roma 5:12-19 dengan jelas mendefinisikan hal paralel yang kritis dan logis antara Adam dan Yahushua Kristus dalam konteks penebusan umat manusia. Konsekuensi penting dari doktrin bahwa Yahuwah menjadi manusia adalah bahwa ia menghancurkan paralel kunci ini, sebab Adam hampir tidak dapat dibandingkan dengan suatu wujud yang telah ada sejak kekekalan. Sebaliknya, Adam adalah makhluk ciptaan yang dibuat menurut gambar Pribadi yang menciptakannya, Yahuwah. Adam bukan “sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Yahuwah,” “100 persen manusia dan 100 persen Yahuwah,” “setara dengan Yahuwah Bapa,” atau “sehakikat dengan Bapa.” Adam adalah makhluk ciptaan yang diberi kuasa, yang tidak menaati perintah langsung Yahuwah, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi dirinya sendiri dan seluruh umat manusia.

Sebaliknya, Yahushua Kristus juga adalah makhluk ciptaan, dijadikan manusia dengan cara yang sama seperti Adam mula-mula dijadikan, sebuah mahakarya ciptaan Yahuwah, diberi kuasa atas Firdaus dan atas setiap makhluk yang telah Ia ciptakan. Yahushua tidak boleh memiliki keunggulan intrinsik atas Adam, atau kelayakannya sebagai Penebus akan menjadi batal secara legal. Ia adalah Adam Terakhir, bukan “manusia-ilahi” yang pertama. Perbedaan antara Adam dan Yahushua bersifat situasional, bukan esensial: Adam memulai sebagai sosok tinggi tanpa pusar; Yahushua memulai sebagai sosok kecil dengan pusar. Adam diciptakan dalam keadaan terbentuk sempurna dan sepenuhnya mampu memahami suara Yahuwah. Yahushua harus belajar dari orang tuanya. Adam tidak perlu menanggung kehinaan kelahiran yang rendah dan dianggap tidak sah, anak dari orang biasa. Adam hanya perlu berpakaian, memelihara taman, dan merawat istrinya. Ia hanya harus menahan diri untuk tidak memakan buah itu atau mati dan membawa kematian bagi semua keturunannya. Yahushua harus meminum cawan penderitaan dan mati supaya ia dapat dibangkitkan untuk menaklukkan maut dan memampukan orang lain untuk memakan “buah” hidup yang kekal.

Dalam perbandingan “langsung,” Adam memiliki setiap keuntungan, namun Yahushua menang di tempat Adam jatuh. Ia memilih untuk menaati kehendak Yahuwah, yakni supaya ia menyerahkan dirinya sebagai korban yang sempurna bagi dosa. Agar persyaratan hukum penebusan dipenuhi, Yahushua Kristus haruslah sama dengan kondisi Adam. Kitab Suci menyatakan bahwa Yahushua adalah manusia ciptaan seperti Adam. Keduanya merupakan hasil dari aktivitas penciptaan langsung Yahuwah.

Seperti telah dinyatakan, Alkitab pada dasarnya adalah kisah tentang dua Adam. Selain kesempurnaan genetik awal yang mereka miliki bersama, kontras antara keduanya sangat tajam. Berikut ini mungkin merupakan cara lain untuk merangkum Roma 5:12-21:

Masalah-Masalah Lain dengan Doktrin “Inkarnasi”

Di samping karakter mitologisnya, apa masalah lain dari adanya gagasan Yahuwah menjadi manusia? Pertama, gagasan itu tidak logis dan bersifat saling bertentangan apabila kita setia pada penggunaan kata yang tepat secara Alkitabiah. Alkitab secara eksplisit menyatakan bahwa “Yahuwah bukanlah manusia…” (Bil. 23:19), yang mendefinisikan dua kategori yang berbeda, Yahuwah dan manusia. Dalam istilah logika simbolik, hal itu dapat dinyatakan demikian: Jika Yahuwah bukan manusia, maka jika seseorang adalah “manusia,” ia tidak dapat menjadi “Yahuwah.”

Kekudusan Yahuwah menutup kemungkinan bagi-Nya untuk menjadi sesuatu yang lain dari apa adanya Dia. Rubenstein menyoroti ketidaklogisan dari pernyataan bahwa “Yahuwah dapat melakukan apa saja.”

Athanasius [seorang uskup Aleksandria yang memelopori posisi ortodoks penganut Trinitas] mengatakan bahwa Yahuwah dapat melakukan apa pun yang Ia pilih untuk dilakukan dan bahwa Ia memutuskan untuk mengubah diri-Nya menjadi manusia demi keselamatan kita. Yahushua Kristus bukan salah satu ciptaan Yahuwah, tegasnya, melainkan Yahuwah sendiri, yang berinkarnasi dalam bentuk manusia. Pernyataan-pernyataan itu terdengar jelas, tetapi sebenarnya amat membingungkan. Dapatkah Yahuwah melakukan apa pun yang Ia pilih untuk dilakukan? Tentu saja—kecuali hal-hal yang tidak selaras dengan menjadi Yahuwah. Dapatkah Ia memilih untuk menjadi jahat atau bodoh? Dapatkah Ia menjadi Iblis—atau menjadi tidak ada sama sekali? [24]

Kesempurnaan tidak dapat diperbaiki atau diubah. Ia bukanlah “allah” panteistik yang berdiam di dalam segala sesuatu. Ia kudus, artinya Ia berdiri terpisah dari dan di atas ciptaan-Nya, namun tetap terlibat secara intim di dalamnya. Karena itu, Yahuwah tidak dapat mengubah hakikat esensial-Nya, yang menurut definisinya sempurna, dan kesempurnaan tidak dapat ditingkatkan. Namun sekalipun Ia dapat melakukannya, dengan melakukan demikian Ia akan, menurut definisinya, tidak lagi menjadi “Yahuwah.”

Jika Yahushua Kristus adalah “Yahuwah dalam daging manusia,” maka akan ada korban-korban Kitab Suci lainnya. Pertama, hal itu membuat peristiwa emosional di taman Getsemani akan menjadi nyaris tidak bermakna, ketika Yahushua berdoa tiga kali agar cawan ini diambil dari padanya (Luk. 22:42). Jika ia “sehakikat” dengan Bapa dan merupakan bagian yang integral sejak kekekalan dari suatu “Keallahan,” maka kehendaknya dengan sendirinya sama dengan “kehendak Yahuwah.” Jika ia bergumul hanya pada “sisi manusia”-nya, sebagaimana diklaim para penganut Trinitas, sambil bersamaan dengan itu menerima tugas itu pada “sisi ilahi”-nya, maka kita pun pada akhirnya tidak terlalu terkesan oleh kesulitan yang ia hadapi, dibandingkan dengan cara kita menghadapi pencobaan tanpa manfaat adanya “sisi ilahi” yang pasti akan mendominasi.

Jika memang itu adalah “kehendak Yahuwah” bahwa Yahushua harus mati, dan Yahushua adalah “Yahuwah” dalam daging manusia, maka itu juga adalah kehendaknya untuk mati. Mengapa Yahushua bergumul begitu intens dengan tugas mengorbankan dirinya, hingga akhirnya menyerah dan berkata, “…tetapi bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”? Jika pergumulan ini adalah antara natur ilahi dan natur manusiawinya, mengapa ia memanggil Yahuwah, Bapanya, dalam doa, padahal itu adalah pergumulan internal yang nyaris menyerupai gangguan mental skizofrenik? [25]

Menurut penilaian kami, ia sedang berupaya secara artifisial meninggikan Kristus melalui manipulasi teologis, yang berujung pada peniadaan total karakter heroik dari tindakan kehendak bebasnya. Kecuali ia adalah manusia, “…yang telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15), dengan kebebasan mutlak untuk berpaling dari tugas itu, nilai tindakannya sebagai korban yang murah hati (pengosongan kehendak dan keinginannya sendiri) hampir sepenuhnya lenyap. Jika ia adalah Yahuwah, ia hampir tidak mungkin menyangkal diri atau tidak menaati arahannya sendiri. Melihat Yahushua sebagai manusia yang diberi kuasa yang harus menaati Yahuwah sebagaimana kita harus menaati-Nya adalah konteks dan latar yang tepat untuk menghargai tindakan kepahlawanannya. Melihatnya dia sebagai sehakikat dengan Yahuwah, yang dilengkapi perspektif ilahi atas peristiwa manusia, menunjukkan bahwa ia hanya menjalani gerak-gerik yang telah diatur sebelumnya. Dalam hal itu, komitmen dan teladan heroiknya bertabrakan dengan “keilahian”-nya yang diklaim dan tenggelam ke dalam lautan kelabu yang tak menginspirasi, yakni keniscayaan.

Seiring runtuhnya heroisme Kristus, runtuh pula logika Filipi 2:8-11, dan pemuliaannya berkurang karena dasar pemuliaannya atas jasa ketaatannya menjadi pudar. Kitab Suci di sini menyatakan bahwa Yahuwah sangat meninggikan Yahushua Kristus sebagai respons atas kerendahan hatinya untuk taat sampai mati, bahkan mati yang sehina dan sesakit penyaliban. Jika Kristus “sekekal” dan “telah ada sebelumnya” bersama “Yahuwah Bapa,” dan jika ia sudah menempati posisi tertinggi dalam kemuliaan sebelum “inkarnasi,” maka apakah makna dari pemuliaan luar biasa ini dalam kaitan dengan ketaatannya sampai mati? Bukankah ia sekadar kembali kepada kedudukan tinggi sebelumnya—kedudukan yang hampir tidak mungkin ditolak karena ia telah rela meninggalkannya dengan pengertian bahwa ia dapat kembali kepadanya? Jika kita sungguh-sungguh peduli untuk memberi Kristus penghormatan yang semestinya dan memuliakannya dengan tepat, bukankah lebih masuk akal menempatkan pencapaiannya dalam kerangka teologis yang membuat heroismenya lebih tampak, bukan lebih samar? [26] Pertimbangkan kekuatan terjemahan James Moffatt atas Yesaya 9:6 dalam hal ini:

Yesaya 9:6
Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; tanda kerajaan ada pada bahunya, dan nama yang disandangnya ialah: “Penasihat Ajaib, Pahlawan Ilahi, Bapa Kekal, Raja Damai!”

Korban lain dari “Inkarnasi” adalah signifikansi ketuhanannya. Kisah Para Rasul 2:36 menyatakan bahwa Yahuwah telah membuat Yahushua dari Nazaret “menjadi Tuhan dan Kristus.” Jika Yahushua Kristus sudah “Yahuwah,” maka pemberian gelar “Tuan” kepadanya sulit dipahami sebagai sesuatu yang istimewa, karena ia sudah memiliki hak penuh atas gelar itu dan konon telah menggunakannya dalam Perjanjian Lama. Sekali lagi, upaya teologis buatan manusia untuk meninggikan Kristus melampaui apa yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kitab Suci justru menghasilkan perendahan yang radikal atas nilai ketaatan dan pencapaiannya bagi kita. Namun manusia, betapapun tulus, tidak dapat menambahkan kebesaran Yahushua dengan menjadikannya sesuatu yang tidak dinyatakan Kitab Suci. Setiap upaya untuk melakukannya secara signifikan justru mengurangi kebesaran pesan Alkitabiah. Ketika kita membiarkan firman Yahuwah berbicara sendiri dan membiarkan setiap bagian teka-teki itu tersusun tanpa memaksakannya agar sesuai dengan tradisi atau praduga kita, baik Yahuwah maupun Anak-Nya dimuliakan, nalar dipuaskan, dan Gereja diberkati karena membangun di atas batu penjuru yang kokoh.

“Pra-eksistensi” Kristus

Sebagaimana telah dinubuatkan Paulus, mitos-mitos menggantikan penegasan Kitab Suci yang jelas dan lugas. Salah satu mitos yang muncul ialah bahwa Yahushua Kristus telah ada sebelum kelahirannya. Gagasan ini kemudian melahirkan kebutuhan akan doktrin Inkarnasi, yang berupaya menjelaskan bagaimana Yahuwah menjadi manusia. Dalam telaahnya yang mendalam mengenai doktrin Inkarnasi, James D. G. Dunn mengakui bahwa konsep tersebut muncul pada akhir abad pertama melalui penafsiran yang keliru dan terlalu literal terhadap Injil Yohanes. Dunn mendedikasikan ratusan halaman untuk mendokumentasikan bahwa doktrin pra-eksistensi hanya dapat dipertahankan dari Injil Yohanes:

Hanya dalam Injil Keempat pemahaman tentang pra-eksistensi pribadi sepenuhnya muncul, yakni tentang Yahushua sebagai Anak ilahi Yahuwah sebelum dunia bermula yang diutus ke dalam dunia oleh Bapa… pada akhir abad pertama suatu konsep yang jelas tentang keanak-ilahian yang sudah ada sebelumnya (pra-eksisten) telah muncul, untuk kemudian menjadi penekanan yang dominan (dan sering kali satu-satunya) pada abad-abad berikutnya. [27]

Ayat-ayat lain dalam Perjanjian Baru kadang-kadang juga digunakan untuk mencoba menegakkan doktrin pra-eksistensi. Namun banyak sarjana menyimpulkan bahwa baik Paulus, Petrus, Yakobus, maupun Injil-Injil Sinoptik tidak menggambarkan Yahushua sebagai wujud yang pra-eksisten. Tanpa gagasan bahwa Kristus sudah ada dalam suatu bentuk sebelum kelahirannya, tidak akan ada kebutuhan akan doktrin “inkarnasi.” Banyak pihak non-Trinitas sepanjang sejarah secara terbuka menentang Trinitas tetapi percaya bahwa Yahushua adalah ciptaan pertama dari seluruh ciptaan Yahuwah dan menjadi pribadi yang olehnya Yahuwah menciptakan dunia. Arius, uskup yang berdebat dengan Athanasius pada Konsili Nicea tahun 325 M, memegang posisi ini. Dalam menelaah Injil Yohanes pasal 6, kami dengan terbuka mengakui bahwa ada ayat-ayat dalam Kitab Suci yang tampak mengatakan bahwa Yahushua telah ada sebelum kelahirannya. Namun terdapat bobot bukti yang lebih besar yang menolak gagasan yang tidak selaras ini (dapatkah seseorang ada sebelum ia ada?), dan ayat-ayat yang tampaknya menyatakan ia “pra-eksis” dapat dipahami dengan cara yang tidak mendukung gagasan yang berlawanan dengan nalar tersebut. Lebih jauh lagi, beberapa ayat “pra-eksistensi” itu kalah jumlah dibandingkan banyak ayat jelas yang mengajarkan bahwa Yahushua memulai hidupnya sebagai benih dalam rahim Maria.

Penyebutan Mesias yang pertama terdapat di Perjanjian Lama, dan tidak ada pernyataan bahwa Yahushua sudah hidup dalam bentuk apa pun. Sebaliknya, tak terhitung rujukan tentang Mesias berbicara mengenai dia dalam bentuk waktu depan yang literal. Misalnya, “Aku akan membangkitkan seorang nabi…” (Ul. 18:18) merupakan contoh khas dalam berbicara tentang Mesias dalam waktu di masa depan. Contoh lain terdapat dalam kitab Samuel: “…Aku akan membangkitkan keturunanmu… Aku akan menjadi bapanya dan ia akan menjadi anak-Ku…” (2 Sam. 7:12 dan 14). Para penganut Trinitas mengatakan bahwa Mesias adalah “Allah Anak,” pribadi kedua dari Trinitas, yang “sekekal” (yakni tidak pernah diciptakan). Jika demikian, ia “sudah” menjadi Anak, dan penggunaan bentuk waktu depan menjadi menyesatkan, bahkan tidak akurat. Contoh lain: “…namanya disebut Penasihat Ajaib…” (Yes. 9:5 TB). Ungkapan “namanya disebut” memperlihatkan dengan jelas bahwa orang-orang tidak menganggap Mesias sudah ada. Ia tentu sudah memiliki nama apabila Mesias telah hidup. Sejumlah teolog berpendapat bahwa Yahushua menampakkan diri dalam Perjanjian Lama, namun tidak ada satu pun tempat di mana teks menyatakan bahwa “Yahushua” menampakkan diri. Yahuwah dan malaikat menampakkan diri kepada manusia, tetapi tidak pernah Yahushua, sebab ia belum ada. [28]

Jika Yahushua memang “pra-eksis,” maka satu-satunya cara ia dapat menjadi bayi adalah melalui “inkarnasi.” Karena itu, fakta bahwa Kitab Suci tidak menyebut adanya “inkarnasi” semacam itu merupakan argumen yang kuat bahwa hal itu sebenarnya tidak pernah terjadi. Hal ini menjadi semakin nyata ketika kisah-kisah kelahiran dalam Matius dan Lukas dibaca, sebab keduanya menunjukkan bahwa kehidupan Yahushua bermula ketika Yahuwah membuat Maria hamil. Sebagai contoh, rumusan Matius 1:18 bersifat spesifik. Sebagian besar terjemahan berbunyi kurang lebih: “Demikianlah hal kelahiran Yahushua…” Kata Yunani yang diterjemahkan “kelahiran” ialah genesis, yang secara teknis berarti “permulaan” dan diterjemahkan sebagai “kelahiran” hanya ketika konteks menuntutnya. Tampak bahwa para penyalin awal merasa tidak nyaman karena Alkitab mengatakan “permulaan Yahushua Kristus,” sehingga dalam banyak teks Yunani mereka mengubah “genesis,” “permulaan,” menjadi kata yang sangat dekat, “genesis,” yang mereka maksudkan sebagai “kelahiran.” [29] Syukurlah, kerja tekstual yang jujur dilakukan pada masa kini, dan diakui secara terbuka, bahkan oleh para penganut Trinitas, bahwa kata asli yang dipakai dalam Matius adalah genesis (“permulaan”).

Sebagaimana dinyatakan Petrus melalui pewahyuan, “Ia memang telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan dirinya pada zaman akhir” (1 Ptr. 1:20 TB). Kristus berada dalam pengetahuan Yahuwah sebelum dunia bermula, tetapi belum menjadi realitas. Orang-orang Kristen dibicarakan dengan cara yang sama persis. Roma 8:29 menyatakan bahwa orang Kristen “dikenal-Nya sebelumnya.” Efesus 1:4 menyatakan bahwa orang Kristen “dipilih” sebelum dunia dijadikan. 2 Tesalonika 2:13 menyatakan bahwa orang Kristen “dipilih” sejak “semula.” 2 Timotius 1:9 menyatakan bahwa kasih karunia Yahuwah dianugerahkan kepada kita “sebelum permulaan zaman.” Namun tidak ada teolog yang mengatakan bahwa orang Kristen “pra-eksis,” sehingga tidak konsisten bila orang mengambil ungkapan yang sama mengenai Kristus dan orang Kristen lalu menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda—bahwa Kristus “pra-eksis,” tetapi orang Kristen hanya “diketahui sebelumnya.”

Kristologi Malaikat

Banyak teolog penganut Trinitas meninggikan “kristologi tinggi” Injil Yohanes dan kemudian “membaca masuk” ke dalam tulisan Rasul Paulus bahwa ia memahami Kristus sebagai suatu bentuk wujud malaikat yang pra-eksisten. Namun bahkan sebelum Yahushua lahir, beberapa rabi dan penulis Yahudi telah mengidentifikasi Mesias Yahuwah sebagai wujud malaikat. Misalnya, para sarjana Yahudi yang menerjemahkan Septuaginta, yakni terjemahan Yunani Perjanjian Lama, mengidentifikasi Kristus sebagai wujud malaikat dalam Yesaya 9:6. [30]

Keyakinan yang luas dan mengakar kuat bahwa Kristus adalah makhluk ciptaan merupakan hambatan besar yang harus diatasi agar doktrin Trinitas dapat diterima oleh sebagian besar orang Kristen. Pertama-tama, merupakan ajaran Kitab Suci yang jelas bahwa, setelah lahir sebagai bayi, Yahushua menjadi Kristus yang dimuliakan dengan tubuh yang baru dan memperoleh kedudukan “Tuan” yang, menurut firman, ia peroleh melalui ketaatannya kepada Yahuwah. Sangat tidak terpikirkan bagi orang Yahudi dan orang Kristen mula-mula bahwa Yahuwah Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dapat mengalami pertumbuhan dan perubahan, sebab Alkitab bersaksi bahwa Ia sempurna dan tidak berubah (Mal. 3:6; Yak. 1:17). Karena itu, fakta bahwa Kristus memang bertumbuh dan berubah menjadi petunjuk awal bahwa ia bukan Yahuwah, melainkan ciptaan Yahuwah (Luk. 2:52). Tidak heran diperlukan berabad-abad perdebatan teologis sebelum Trinitas diterima di dalam Gereja! Doktrin itu bukan saja tidak bersumber dari Kitab Suci, tetapi juga bertentangan dengan mitos kuno lain yang sedang kita bahas—yakni Kristologi Malaikat dalam pandangan Yahudi. Doktrin Trinitas tidak segera diterima, melainkan harus memperoleh dominasi dengan menggantikan keyakinan-keyakinan yang sudah ada.

Pertempuran untuk menegakkan dominasi doktrin Trinitas berlangsung di banyak wilayah, dan senjatanya mencakup ekskomunikasi serta pedang. Secara doktrinal, pertempuran berkecamuk dengan keras. Para penganut Trinitas harus menjawab atau menghindari banyak pertanyaan, dan jalannya berliku dengan banyak penyimpangan. Tidak termasuk dalam ruang lingkup artikel ini untuk membahas seluruh perkara itu secara mendalam guna menunjukkan semua yang terjadi secara teologis pada abad-abad awal dalam Gereja. Namun fakta-fakta ini dapat dipelajari dari banyak sumber sejarah yang objektif.

Inti Injil, bahwa Yahuwah telah “membuat” manusia Yahushua “menjadi Tuan dan Kristus” (Kis. 2:36 TB), harus dikecilkan, bahkan dihapuskan. Jika Kristus adalah Yahuwah dalam kekekalan lampau, dan jika ia adalah Yahuwah dalam daging, maka menjadikannya “Tuan” nyaris bukan suatu “kenaikan” atau “kehormatan.” Itu hanya berarti ia kembali kepada kedudukan yang sebelumnya telah ia duduki, setelah “inkarnasi” duniawinya, setelah penampakannya yang singkat di bumi.

Untuk beralih dari pemahaman Alkitabiah mula-mula bahwa Yahushua menjadi “Tuan dan Kristus,” kepada doktrin baru yang pada hakikatnya ialah “Yahuwah merebut kembali kedudukan-Nya yang semestinya sebagai Yahuwah,” maka harus dikembangkan satu doktrin baru lagi. Itulah doktrin “dua sifat alamiah (natur) dalam Kristus,” yang umumnya dipahami sebagai Kristus “100 persen manusia dan 100 persen Allah.” Gagasan baru tentang dua natur dalam Kristus ini juga harus mengatasi hambatan-hambatan, dan pada akhirnya berhasil. Martin Werner menulis: “Namun gagasan tentang suatu transformasi [bahwa Yahushua berubah dari bayi menjadi ‘Tuhan’] telah dinyatakan terlalu jelas oleh Paulus dan Injil-Injil Sinoptik untuk diabaikan sepenuhnya. Karena itu, Gereja mengakui skema transformasi dalam teologinya setelah Kristologi Malaikat ditolak secara definitif. Hal ini mengambil bentuk gagasan bahwa ‘natur manusia’ yang telah dipersatukan oleh natur ilahi di dalam Yahushua, telah didewakan melalui Kebangkitan dan Pemuliaan.”

Sebagaimana disebutkan di atas, Gereja mulai menerima dan mengajarkan bahwa hanya Yahuwah sendiri yang dapat menebus umat manusia. Jika demikian, maka konsekuensinya adalah bahwa suatu wujud malaikat atau ciptaan Yahuwah tidak dapat melakukannya. Sekali lagi kami menyatakan dengan tegas dan kategoris bahwa ajaran bahwa penebusan umat manusia harus dikerjakan oleh Yahuwah dan bukan oleh seorang manusia adalah sangat tidak Alkitabiah. Alkitab mengajarkan bahwa Sang Penebus haruslah manusia sejati dan bukan suatu hibrida “Yahuwah-Manusia.”

Yahuwah Adalah Sumber Sang Mesias

Sejumlah ayat merujuk pada Yahushua yang datang “dari surga,” “dari atas,” “diutus dari Yahuwah,” dan sebagainya, dan semuanya terdapat dalam Injil Yohanes. Kami telah membahas beberapa alasan bagi bahasa seperti ini dalam Injil Keempat pada pasal 8. Namun, kini kami akan membahas isu ini lebih lanjut karena cara para penganut Trinitas menggunakan Injil Yohanes untuk menegakkan doktrin Pra-eksistensi dan Inkarnasi:

Ayat-ayat ini dapat tampak sebagai bukti yang mengesankan bahwa Yahushua memang “pra-eksis” di surga sebelum kelahirannya. Namun, bagaimana orang-orang yang kepada mereka Yahushua berbicara itu akan memahami perkataannya? Orang Yahudi bahkan tidak mengharapkan Yahuwah menghamili seorang perawan untuk melahirkan Mesias mereka, apalagi bahwa Yahuwah sendiri secara mistis mentransformasikan diri-Nya menjadi Mesias. Konsep bahwa Yahuwah memiliki relasi sedemikian langsung dengan seorang perempuan fana adalah asing bagi pola pikir Yahudi. Maria, ketika diberitahukan bahwa ia akan mengandung “Anak Allah Yang Mahatinggi,” berkata kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi”… “karena aku belum bersuami?” (Luk. 1:34 TB).

Kajian singkat atas tafsiran-tafsiran Yahudi mengenai ayat-ayat Perjanjian Lama yang oleh orang Kristen digunakan untuk menunjukkan nubuat kelahiran dari seorang perawan akan memperlihatkan bahwa orang Yahudi pada waktu itu, dan juga sekarang, tidak menafsirkannya sebagai kelahiran dari seorang perawan. Itulah salah satu alasan Kristus dituduh “lahir dari zina” (Yoh. 8:41). James Dunn, yang juga mempercayai doktrin pra-eksistensi, menulis dalam Christology in the Making: A New Testament Inquiry into the Origins of the Doctrine of the Incarnation: “Kita memiliki contoh-contoh tokoh yang dikatakan sebagai keturunan dari persatuan antara sosok ilah dan seorang perempuan fana (Dionysus, Heracles, Alexander Agung), tetapi hal ini asing bagi pemikiran Yahudi, dan para penulis Yahudi tampaknya sepenuhnya menghindari gagasan tersebut.” [31] Karena itu, orang Yahudi tidak akan memahami perkataan Kristus bahwa ia “datang dari atas” sebagai berarti bahwa ia “diinkarnasikan.” Lalu, bagaimana mereka akan memahaminya?

Jika dipelajari dalam bahasa dan budaya saat ungkapan-ungkapan itu diucapkan, kata-kata atau frasa yang tampak menyampaikan satu kebenaran sering kali sebenarnya menyampaikan hal lain sama sekali. Ini merupakan kejadian yang lazim dalam komunikasi lisan. Kajian Dunn yang sangat luas tentang asal-usul doktrin “Inkarnasi” didorong oleh keinginan untuk memahami kata-kata Perjanjian Baru dalam konteks aslinya. Ia menulis: “Keprihatinan saya sepanjang waktu adalah, sejauh mungkin, membiarkan para penulis Perjanjian Baru berbicara bagi diri mereka sendiri, memahami kata-kata mereka sebagaimana yang mereka maksudkan, mendengarnya sebagaimana para pembaca pertama mereka akan mendengarnya…” Namun, sayangnya, Dunn kurang peka terhadap bahasa idiomatik dan jatuh ke dalam jebakan yang sama seperti banyak sarjana Perjanjian Baru penganut Trinitas, yakni mengambil bahasa kiasan secara harfiah, dan bahasa harfiah secara kiasan. Sekali lagi, kita melihat bahwa pengakuan yang tepat atas majas/ungkapan figuratif sangat krusial bagi eksegesis Alkitab yang sehat.

Ada idiom baku dalam bahasa Ibrani dan Aram: ketika Yahuwah adalah sumber (author) dari sesuatu, orang Yahudi membicarakannya sebagai “datang dari Yahuwah,” “datang dari surga,” “turun dari surga,” dan seterusnya. Sebagai contoh, prolog Injil Yohanes sendiri—yang paling sering dipakai untuk menopang doktrin Inkarnasi—menyatakan dalam Yohanes 1:6 (TB): “Datanglah seorang yang diutus Yahuwah, namanya Yohanes.” Apakah ini berarti Yohanes juga merupakan makhluk ilahi pra-eksisten yang diutus dari surga lalu menjadi manusia melalui suatu “inkarnasi”? Jelas tidak. Namun ia “diutus Yahuwah” dalam arti bahwa Yahuwah menugaskannya untuk menjalankan suatu fungsi penting.

Ada banyak contoh lain dari idiom ini. Yahuwah berfirman dalam Maleakhi bahwa Ia akan “membukakan tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat,” dan sampai hari ini kita masih memakai istilah yang sepadan dengan “kiriman Tuhan” untuk suatu berkat yang datang tepat pada waktunya. Alkitab berbicara tentang “roti dari surga,” merujuk kepada manna, tetapi manna itu tidak melayang turun seperti salju. Sebaliknya, manna itu tampak seperti embun beku di tanah. Ia dikatakan “turun dari surga” karena Yahuwah adalah sumbernya. Sebagai sumber, Yahuwah merupakan penjelasan yang paling memadai atas pernyataan Kristus bahwa Yahuwah mengutusnya, bahwa ia datang dari atas, dan sebagainya. Orang Yahudi secara wajar akan memahami pernyataan Kristus dengan cara demikian, dan tidak ada bukti apa pun bahwa mereka akan mengharapkan Kristus sedang berbicara tentang suatu penurunan literal dari surga atau suatu “inkarnasi.”

Sehubungan dengan contoh Yohanes Pembaptis sebagai seorang yang “diutus dari Yahuwah,” perhatikan ayat berikut:

Matius 21:25 (TB)
[Yahushua bertanya kepada orang Yahudi:] “Baptisan Yohanes itu, dari manakah asalnya? Dari surga [artinya: bersumber dari Yahuwah] atau dari manusia?” Mereka memperbincangkannya di antara mereka, lalu berkata: “Jikalau kita katakan: Dari surga, Ia akan berkata kepada kita: Jika demikian, mengapa kamu tidak percaya kepadanya?”

Baptisan Yohanes adalah “dari surga” karena Yahuwah adalah sumber ilhamnya. Yahushua “datang dari surga” karena Yahuwah adalah sumber dari benih yang diciptakan dalam diri Maria. Akan merupakan pemaksaan terhadap bahasa dan budaya pada masa itu jika seseorang memaksa bahwa Alkitab mengajarkan inkarnasi, padahal terdapat bukti bahwa kata-kata yang dipakai untuk “membuktikannya” memiliki makna yang sama sekali berbeda. Kami akan mengutip satu contoh terakhir yang kiranya cukup untuk menegaskan pokok ini. Yakobus 1:17 (TB) menyatakan bahwa setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna “datangnya dari atas” dan “turun dari Bapa.” Ayat ini menyatakan bahwa Yahuwah adalah sumber dari segala kebaikan yang dimaksud. Tidak seorang pun percaya bahwa sesuatu tidak berasal dari Yahuwah hanya karena tidak ada sesuatu yang jatuh dari langit.

Bahasa Nubuat

Masih ada satu ungkapan idiomatik Yahudi lain yang perlu kita pahami ketika mempelajari ayat-ayat tentang Yahushua Kristus. Ketika sesuatu akan terjadi di masa depan, hal itu sering diungkapkan seolah-olah telah terjadi di masa lampau atau sudah ada. Hal ini sangat dikenal di kalangan ahli bahasa Ibrani dan disebut dengan berbagai istilah, antara lain: “bahasa nubuat”, makna historis nubuat”, dan preteritum penglihatan nubuat”. Seorang sarjana terkemuka dan penulis buku Young’s Concordance menulis: “Kata bentuk lampau sering dipakai untuk menyatakan kepastian suatu tindakan di masa depan.” Sebelum Abraham memiliki keturunan satu pun, Yahuwah berfirman kepadanya: “…kepada keturunanmulah telah Kuberikan negeri ini…” (Kej. 15:18). Kitab Yudas ayat 14 berbicara tentang nubuat Henokh, yang secara harfiah berbunyi: “…sesungguhnya Tuhan telah datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya.” Tentu saja Tuhan belum datang, tetapi peristiwa itu begitu pasti sehingga dinyatakan dalam bentuk lampau. Masih banyak contoh lain dalam Alkitab.

Dalam buku karyanya yang monumental, Figures of Speech Used in the Bible, E. W. Bullinger menyatakan:

“Kata bentuk lampau dipakai menggantikan kata bentuk masa depan ketika pembicara memandang tindakan itu seolah-olah sudah terjadi. Hal ini sangat umum dalam ucapan nubuat Ilahi, di mana, meskipun maknanya secara harfiah untuk masa depan (futuristis), peristiwa itu dipandang dan diucapkan seakan-akan telah terlaksana dalam tujuan dan ketetapan Ilahi. Tujuan majas ini adalah untuk menunjukkan kepastian mutlak dari hal-hal yang dinyatakan.” [32]

Beberapa contoh teks Ibrani yang menyatakan peristiwa masa depan dalam bentuk lampau adalah sebagai berikut:

“Sekali lagi kita harus memperhatikan betapa mengesankannya fakta ini bagi Yesaya. Ia berbicara tentang kelahiran itu seolah-olah telah terjadi, meskipun dari sudut pandangnya hal itu masih di masa depan. Kita tahu bahwa Yesaya tidak sedang berbicara tentang peristiwa masa lampau, karena jika demikian, pernyataannya tidak akan masuk akal. Kelahiran siapakah sebelum zaman Yesaya yang pernah menghasilkan apa yang diuraikan di sini? Mengajukan pertanyaan itu berarti menjawabnya. Lebih jauh lagi, kita harus mencatat bahwa Anak yang kelahirannya disebutkan di sini adalah Dia yang kelahirannya juga telah dinubuatkan dalam pasal 7.” [33]

Idiom-idiom budaya Ibrani juga terbawa ke dalam teks Perjanjian Baru. Bullinger menjelaskan bahwa bahasa dan idiom budaya Ibrani tercermin dalam teks Yunani. Ia menulis: “Harus selalu diingat bahwa meskipun bahasa Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani, para agen dan alat yang dipakai oleh Roh Kudus adalah orang-orang Ibrani. Yahuwah berbicara ‘melalui mulut nabi-nabi-Nya yang kudus.’ Karena itu, meskipun ‘mulut,’ tenggorokan, pita suara, dan napas adalah manusiawi, kata-katanya bersifat Ilahi. Tidak seorang pun dapat sepenuhnya memahami atau menjelaskan bagaimana hal ini terjadi, karena inspirasi adalah fakta yang harus dipercaya dan diterima, bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Oleh sebab itu, kata-katanya adalah Yunani, tetapi pikiran dan idiomnya adalah Ibrani. Atas dasar ini, sebagian orang mengecam bahasa Yunani Perjanjian Baru karena tidak bersifat klasik, sementara yang lain, dalam upaya membelanya, berusaha mencari penggunaan paralel dalam penulis Yunani klasik. Keduanya sebenarnya dapat menghemat tenaga jika mereka menyadari bahwa bahasa Yunani Perjanjian Baru sarat dengan semangat Ibrani, yakni ungkapan-ungkapan yang menyampaikan penggunaan dan pemikiran Ibrani melalui kata-kata Yunani.” [34]

Contoh lain yang jelas dari kesempurnaan nubuat dalam Perjanjian Baru terdapat dalam kitab Yudas. Yudas 14 berbicara tentang nubuat Henokh, yang secara harfiah berbunyi: “…sesungguhnya Tuhan telah datang dengan sepuluh ribu orang kudus-Nya.” Tentu saja Tuhan belum datang, tetapi kedatangan-Nya begitu pasti sehingga dinyatakan dalam bentuk lampau. Mudah dipahami bagaimana idiom bahasa seperti “bahasa nubuatan” menempatkan para penerjemah pada posisi yang menantang. Jika mereka menerjemahkan teks itu secara harfiah, banyak orang Kristen akan merasa bingung. Namun, jika mereka tidak melakukannya, cara yang kuat di mana Yahuwah menyampaikan kepastian mutlak tentang apa yang akan terjadi di masa depan menjadi hilang.

Kita perlu memahami bahasa nubuat. Sebagai contoh, ketika kita mempelajari Kitab Suci dan menjumpai rujukan yang jelas bersifat futuristis tentang Mesias (misalnya Yesaya 53:5, yang berbicara tentang Mesias yang telah tertikam lebih dari 700 tahun sebelum kelahirannya), kita tidak menjadi bingung, melainkan memahami bahwa Yahuwah sedang menggunakan idiom tersebut untuk menyampaikan kepastian bahwa ia memang akan tertikam.

Ada banyak contoh penting tentang “bahasa nubuat” dalam Alkitab, dan menyusun daftar yang lengkap akan menjadi tugas yang sangat besar. Namun, contoh-contoh di atas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa suatu peristiwa masa depan dapat diungkapkan dalam bentuk kata lampau untuk menegaskan bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi. Fakta bahwa bentuk kata lampau digunakan bagi peristiwa futuristis di seluruh Kitab Suci membuktikan bahwa hal ini dipahami secara luas pada masa itu.

Sungguh menyedihkan bahwa mayoritas besar orang Kristen mempercayai dongeng bahwa Yahuwah menjadi seorang bayi. Kebenarannya hampir justru kebalikannya—seorang bayi telah menjadi Tuan!

Kesimpulan

Kini seharusnya jelas bahwa doktrin Inkarnasi tidak alkitabiah dan merupakan hasil pengembangan pemikiran manusia, khususnya pada abad ketiga hingga kelima, seiring dengan berkembangnya doktrin Trinitas dan ajaran tentang dua sifat alamiah [natur] Kristus. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, kami menyatakan bahwa gagasan inkarnasi seharusnya digantikan oleh penjelasan yang lebih sederhana dan lebih alkitabiah mengenai asal-usul Yahushua—yaitu bahwa Yahuwah adalah sumber keberadaannya melalui proses penciptaan yang unik, sama seperti proses yang dengannya langit dan bumi dijadikan. Kami sependapat bahwa sangat esensial bagi orang Kristen untuk mempercayai kelahiran Yahushua dari seorang perawan, sebab tanpa ajaran tersebut Yahushua hanyalah keturunan Yusuf dan Maria, yang tercemar oleh dosa umat manusia. Jika demikian, ia tidak akan mampu menjadi Penebus kita karena ia tidak mungkin mempersembahkan dirinya sebagai korban yang sempurna bagi dosa. Dalam kondisi demikian, Kekristenan benar-benar akan runtuh. Namun, tidak ada apa pun yang hilang apabila terjadi pergeseran dalam pemikiran Kristen dari memandang Yahushua sebagai “inkarnasi” Yahuwah menjadi memahami Yahushua sebagai ciptaan Yahuwah, Bapanya. Sungguh menyedihkan bahwa mayoritas besar orang Kristen mempercayai dongeng bahwa Yahuwah menjadi seorang bayi. Kebenarannya hampir justru kebalikannya—seorang bayi telah menjadi Tuan!


Catatan kaki:

[1] Dunn, op. cit., Christology in the Making, hlm. 4, mengutip M. Wiles.

[2] F. L. Cross, ed., The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press, New York, 1983), hlm. 696.

[3] New Bible Dictionary (Wm. B. Eerdmans Publishing, Grand Rapids, Michigan, 1975), hlm. 558.

[4] S.d.a, hlm. 558.

[5] S.d.a, hlm. 560.

[6] S.d.a, hlm. 559.

[7] S.d.a, hlm. 558.

[8] Tim LaHaye, Yahushua: Who Is He? (Multnomah Books, Sisters, Oregon, 1996), hlm. 80.

[9] Maurice Wiles, The Remaking of Christian Doctrine (Westminster Press, Philadelphia, 1978), hlm. 44.

[10] Op. cit., New Bible Dictionary, hlm. 558.

[11] Robinson, op. cit., Honest to Yahuwah, hlm. 65 dan 66.

[12] John Hick menimbulkan kontroversi pada tahun 1970-an dan 1980-an melalui penerbitan bukunya The Myth of God Incarnate (SCM Press, 1977), hlm. 161. Ia menganggap doktrin Inkarnasi sebagai sesuatu yang sepenuhnya asing bagi keseluruhan pemikiran Perjanjian Baru, dan menyebutnya sebagai “sebuah dogma yang kemungkinan besar akan dianggap sebagai penghujatan oleh Yahushua sendiri.”
Rudolf Bultmann melihat begitu besarnya pengaruh mitologi dalam doktrin tersebut sehingga ia menyerukan suatu “demitologisasi” Kekristenan, bahkan mencakup kebangkitan, yang juga ia ragukan kesejarahannya. Kritikus modern A. N. Wilson secara khusus merendahkan apa yang ia pandang sebagai peminjaman mitologi berhala oleh para rasul untuk membangun iman Kristen sebagai sebuah kisah yang cukup megah agar mampu bersaing dengan dongeng-dongeng Yunani dan Romawi. Lihat A. N. Wilson, Paul: The Mind of the Apostle (W. W. Norton, New York, 1997).

[13] A. N. Wilson, Paul: The Mind of the Apostle (W. W. Norton & Co., New York, 1997), hlm. 75 dan 76.

[14] Ovidius adalah seorang penyair besar Latin yang terkenal melalui puisi naratifnya Metamorphoses (Transformasi), yang memuat lebih dari 200 kisah yang diambil dari legenda dan mitos favorit dunia kuno. Menariknya, Ovidius menganggap kisah-kisah tersebut sebagai omong kosong belaka dan tidak layak dipercaya. Ia menulis:
“Aku mengoceh tentang kebohongan-kebohongan mengerikan para penyair kuno,
yang tak pernah dilihat, baik dahulu maupun sekarang, oleh mata manusia.”
Edith Hamilton, Mythology: Timeless Tales of Gods and Heroes (Penguin Books, New York, 1940), hlm. 21.

[15] Robinson, Priority, hlm. 393 dan 394.

[16] Robinson, op. cit., Honest to Yahuwah, hlm. 65.

[17] New Bible Dictionary, hlm. 558.

[18] Dart mengutip penelitian Bultmann untuk mendukung hubungan antara gagasannya tentang “Kekristenan” (tradisi ortodoks) dan Gnostisisme. Kekristenan menyatakan bahwa manusia tidak dapat menebus dirinya sendiri, yakni tidak dapat “menyelamatkan” dirinya dari dunia dan kuasa-kuasa yang menguasainya. Dalam konsep ini, Kekristenan primitif sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Gnostik, demikian menurut Bultmann. “Penebusan manusia,” tulisnya, “hanya dapat datang dari dunia ilahi sebagai suatu peristiwa, menurut baik kaum Gnostik maupun orang-orang Kristen.”
Rudolf Bultmann, Primitive Christianity in its Contemporary Setting (The World Publishing, Cleveland, 1956), hlm. 162–171. John Dart, op. cit., The Jesus of Heresy and History, hlm. 39.

[19] S.d.a, hlm. 57. Kutipan berikut dari Dart menggambarkan keyakinan akademis bahwa Yahuwah dalam Alkitab dianggap tidak dapat diketahui sepenuhnya: “Dalam genre hikmat, Yahuwah cenderung menjadi semakin tak terselami bagi manusia. ‘Ia dijauhkan dan ditempatkan tinggi di atas kepentingan duniawi sehingga tindakan-Nya dalam sejarah dan tindakan-Nya dalam penciptaan menjadi terselubung,’” tulis Kurt Rudolph, dengan merujuk pada Ayub 28 dan Amsal 30:1–4.

[20] Dave Hunt, The Berean Call, April 1999.

[21] Yahuwah adalah sekaligus Penggagas rencana keselamatan dan pelaku aktif dalam keselamatan kita. Sebagai contoh, Yahuwah, Sang Bapa, disebut sebagai “Juruselamat” dalam 1 Timotius 1:1; 2:3; 4:10; Titus 3:4; dan Yudas 25. Yahushua Kristus disebut sebagai “Juruselamat” karena ia adalah agen yang melaksanakan rencana Yahuwah, dan tanpa dirinya rencana itu tidak mungkin terlaksana. Lihat Lampiran A (Lukas 1:47).

[22] Contoh yang paling jelas terdapat dalam Keluaran 17:14b, di mana Yahuwah berkata: “Aku akan menghapuskan sama sekali ingatan tentang Amalek dari bawah langit.” Namun, maksud-Nya bukan bahwa Ia akan melakukannya sendiri tanpa perantaraan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Ulangan 25:19 dan ditegaskan kembali dalam 1 Samuel 15, bahwa bangsa Israel-lah yang harus melaksanakan penghapusan tersebut dengan pertolongan Yahuwah.

[23] Seorang pendukung teologi inkarnasional menyatakan dengan tegas: “Ia tidak menjadi kurang Yahuwah karena inkarnasi; Yahuwah yang menyatakan diri dalam daging adalah fondasi Kekristenan. Bahwa seseorang itu adalah Allah-manusia merupakan misteri besar iman kita.”
W. E. Best, Christ Could Not Be Tempted (W. E. Best Book Missionary Trust, Houston, Texas, 1985), hlm. 8.

[24] Rubenstein, op. cit., When Yahushua Became Yahuwah, hlm. 118.

[25] Bahkan para penganut doktrin Inkarnasi sendiri melihat persoalan serius dalam teori “dua natur.” W. E. Best menulis bahwa jika Kristus dapat berdosa menurut natur manusiawinya tetapi tidak menurut natur ilahinya, maka itu menyiratkan konflik internal yang mustahil, karena natur manusiawinya telah dipersatukan dengan Pribadi Ilahinya. Dengan demikian, tidak pernah ada konflik dalam diri Kristus sebagaimana yang ada dalam diri orang Kristen (Roma 7:15–25).
Best, op. cit., Christ Could Not Be Tempted, hlm. 15.

[26] Pembaca dapat menilai sendiri mana yang lebih logis dan alkitabiah:
a) Yahuwah sendiri menjadi manusia, turun dari surga, disiksa, dibunuh, membangkitkan diri-Nya sendiri, lalu kembali ke surga sebagai pemenang.
b) Yahuwah menciptakan seorang manusia, mempersiapkan dan mengutusnya, manusia itu menderita dan mati, lalu Yahuwah membangkitkannya dan mengangkatnya ke posisi mulia di surga.

[27] James Dunn, op. cit., Christology in the Making, hlm. 61.

[28] Daniel 3:25 sering digunakan sebagai bukti penampakan Yahushua dalam Perjanjian Lama. Namun, NIV Study Bible menjelaskan bahwa Nebukadnezar berbicara sebagai seorang kafir politeis dan memahami sosok keempat itu sebagai makhluk surgawi yang lebih rendah. Daniel 3:28 dengan jelas menyatakan bahwa sosok tersebut adalah seorang malaikat yang diutus oleh Yahuwah.

[29] Untuk kajian mengenai perubahan teks yang dilakukan guna menjadikannya lebih sesuai dengan pandangan para penganut Trinitas, lihat buku Bart Ehrman, The Orthodox Corruption of Scripture (Oxford University Press, New York, 1993).

[30] Werner, op. cit., hlm. 132–139, mencatat banyak tradisi awal yang menggambarkan Kristus sebagai malaikat, termasuk dalam tulisan-tulisan seperti The Ascensio Jesaiae, Shepherd of Hermas, tulisan-tulisan Gnostik, serta pandangan tokoh-tokoh gereja awal seperti Justin, Clement, Origen, Methodius, dan lainnya.

[31] Dunn, op. cit., Christology, hlm. 20.

[32] E. W. Bullinger, op. cit., Figures of Speech, hlm. 518.

[33] Edward J. Young, The Book of Isaiah (William B. Eerdmans Publishing, Grand Rapids, 1996), Jilid 1, hlm. 329.

[34] Bullinger, op. cit., Figures of Speech, hlm. 819 dan 820.


Ini adalah artikel non-WLC. Sumber: https://www.biblicalunitarian.com/articles/jesus-christ-incarnated-or-created

Kami telah mengganti gelar dan nama dalam bahasa Inggris bagi Bapa dan Anak dengan istilah yang digunakan oleh para rasul. Dalam kutipan-kutipan Kitab Suci yang disajikan, kami telah memulihkan nama-nama asli sebagaimana digunakan oleh para penulis yang diilhami. Namun demikian, kami mengakui perkembangan historis yang menyebabkan nama Yahushua diterjemahkan menjadi “Yesus.” Selain itu, kami juga mengakui bahwa istilah bahasa Indonesia “Tuhan” secara umum telah digunakan sebagai padanan bagi istilah Ibrani Eloah atau Elohim. —Tim WLC