Print

Konstantin I & Hillel II: Dua Orang Yang Telah Menipu Seluruh Dunia


2 Orang [Konstantin + Hillel] ÷ 2 Agenda = 1 Penipuan yang sangat Besar

Pada abad ke-empat Masehi, hari Sabat kuno telah digantikan dengan hari Sabtu melalui sebuah perubahan kalender.
Sabat yang sejati dari Kitab Suci telah hilang.

Salah satu penipuan terbesar dalam sejarah dunia ini telah dilakukan hampir 1.700 tahun yang lalu melalui aksi dua orang. Kaisar Romawi, Konstantin, melakukan perbuatan yang luar biasa: dia menyatukan kerajaannya dengan memperkenalkan hari Minggu sebagai hari kebangkitan Yahushua dan melarang penggunaan kalender Alkitabiah untuk menetapkan hari Paskah Passover. Satu bagian pergerakan ini dilakukan melalui serangkaian tindakan. Pemimpin Yahudi, Hillel II, menanggapi penganiayaan yang ditimbulkan oleh peraturan sang kaisar dengan merubah kalender Alkitab. Tindakan ini menggantikan hari Sabat yang sejati dengan hari Sabtu kafir. Itu adalah sebuah mata rantai aksi dan reaksi dari tindakan heroik. Dampaknya berlangsung sampai hari ini yang membuat semua orang Kristen dan umat Yahudi beribadah dengan menggunakan kalender Gregorian [kalender Masehi].

AKSI

Konstantin

Abad keempat adalah abad perubahan yang besar dalam arus lautan sejarah yang penuh gejolak. Kekristenan mendapatkan perhatian terbesar yang pernah ada dari Kekaisaran Romawi, walaupun agama berhala melalui pengaruhnya tetap mendominasi. Waktunya tiba bagi seseorang yang memiliki kekuatan dan inisiatif untuk memanfaatkan sebuah waktu yang unik dalam sejarah.

Santo Konstantin Agung (272 - 337 M) secara luas dipandang sebagai kaisar "Kristen" pertama dari Kekaisaran Romawi. Pada kenyataannya dia, pertama-tama dan terutama, beragama kafir. Dia baru mengijinkan dirinya dibaptis sesaat sebelum kematiannya, tetapi dia mempertahankan posisinya sebagai pemimpin agama negara dan menjabat gelarnya sebagai, Pontifex Maximus, sampai hari kematiannya.[1] Bahkan Agama Katolik mengakui bahwa Konstantin mempertahankan kantor pontifex maximus setelah hari "pertobatannya."[2]

Konstantin juga adalah seorang ahli strategi yang pintar dengan sebuah agenda politik. Dia ingin menyatukan dua kubu yang paling berpengaruh dalam kerajaannya: penganut agama berhala dan orang-orang Kristen. Orang-orang Yahudi adalah sebuah kelompok minoritas yang dibenci dan yang pengaruhnya harus dikontrol dan dipinggirkan. Dengan demikian, upaya Konstantin untuk menyatukan kerajaannya berfokus pada menemukan landasan bersama untuk menyatukan orang-orang kafir di wilayah timur dan orang-orang Kristen yang sudah dikafirkan di wilayah barat. Dan landasan bersama itu dia temukan di dalam hari Minggu pada mingguan planetari kafir.

Kalender Julian mula-mula, sama seperti kalender Republik Romawi sebelumnya, memiliki sebuah mingguan yang berisi delapan hari. Huruf A sampai H mewakili hari-hari dalam setiap minggu. Pada saat itu, negara-negara yang berbeda menggunakan beberapa bentuk sistem penghitung waktu dan dalam Kekaisaran Romawi itu sendiri, ada perbedaan wilayah dalam kalender Julian. Mingguan kafir dengan tujuh hari masuk ke Roma pada abad pertama SM.[3]

Meskipun pada munculnya mingguan planetari, kalender Julian mula-mula masih terus menggunakan bentuk mingguan yang berisi delapan hari untuk beberapa waktu kemudian. "Siklus Nundinal [delapan-hari pasar] pada akhirnya digantikan oleh mingguan tujuh hari moderen, yang pertama-tama mulai digunakan di Italia selama periode kekaisaran awal,[4] setelah kalender Julian berlaku pada tahun 45 SM. Sistem huruf nundinal (hari pasar) juga disesuaikan ke dalam mingguan [tujuh-hari].... Untuk sementara, mingguan itu dan siklus nundinal berjalan berdampingan, tetapi pada waktu mingguan itu secara resmi telah diadopsi oleh Konstantin pada tahun 321 M, siklus nundinal tidak pernah digunakan lagi."[5] Walaupun mingguan planetari kafir yang berisi tujuh hari sudah dikenal oleh bangsa Romawi dan digunakan secara regional, namun kalender Julian yang digunakan selama dan segera setelah masa hidup Yahushua, masih menggunakan mingguan yang berisi delapan hari.

Fakta ini didukung oleh bukti-bukti arkeologi: Fasti kalender Julian yang masih ada sampai saat ini menunjukkan mingguan yang berisi delapan hari maupun daftar dari keduanya baik mingguan yang berisi delapan hari dan tujuh hari pada kalender yang sama.

Penurunan penggunaan mingguan yang berisi delapan hari bertepatan dengan perluasan kerajaan Roma. . . . Mingguan astrologi [planetari] dan mingguan Kristen yang berisi tujuh hari yang baru saja diperkenalkan ke Roma juga menjadi semakin populer. Ada bukti yang menunjukkan bahwa mingguan bangsa Romawi yang berisi delapan hari dan dua siklus mingguan tujuh hari itu digunakan secara bersamaan selama beberapa waktu. Namun, kebersamaan dari dua irama mingguan ini sepenuhnya telah keluar dari fase satu sama lain sehingga tidak mungkin dipertahankan untuk waktu yang lama. Salah satu dari dua bentuk mingguan ini jelas harus ditinggalkan. Seperti yang kita semua tahu, mingguan yang berisi delapan harilah yang segera menghilang dari halaman sejarah untuk selamanya.[6]

Ini bukanlah sebuah perubahan yang langsung. Seiring dengan semakin populernya mingguan planetari yang berisi tujuh hari, penggunaan huruf (A sampai G) untuk menandai jenis-jenis hari dikesampingkan dan hari-hari dalam setiap minggu diberi nama sesuai dengan nama-nama dewa planet.

Tidak diragukan lagi bahwa perbauran orang-orang Iran [Persia] telah memiliki peran yang cukup besar dalam pengadopsian secara umum mingguan yang menjadikan hari Minggu sebagai hari suci, oleh orang-orang kafir.Nama-nama yang kita gunakan, tanpa sadar, pada enam hari yang lain, mulai dipakai pada saat yang sama ketika agama Mithrais mendapatkan pengikut-pengikut di provinsi-provinsi di wilayah Barat, dan dengan perlahan membangun sebuah hubungan kebetulan antara kemenangan itu dan fenomena kebersamaan.[7]

Bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Kristen menulisi nisan-nisan pada makam mereka dengan tanggal ganda, yaitu tanggal menurut kalender matahari Julian dan tanggal menurut kalender luni-solar Alkitab. Salah satu dari nisan yang seperti ini, bertanggal, Jumat, 5 November, tahun 269 M menyatakan: "Berdasarkan konsul Claudius dan Paternus, pada Nones November, pada hari Venus, dan pada tanggal 24 bulan lunar, Leuces menempatkan [nisan ini] untuk anak perempuannya yang sangat disayanginya, Severa, dan kepadaRoh Kudus. Dia meninggal [di usia] 55 tahun, 11 bulan, [dan] 10 hari."[8]

Roman Stick Calendar from the Baths of TitusKalender tempel ini berasal dari Kolam Permandian Titus, yang dibangun pada tahun 79-81 M, menunjukkan dewa Saturnus, memegang sabitnya, sebagai dewa dari hari pertama pada setiap minggu (hari Sabtu). Dewa matahari setelahnya (hari Minggu), diikuti oleh dewi bulan (hari senin) pada hari ketiga dalam setiap minggu.

Situasi seperti inilah yang dimanfaatkan oleh Konstantin untuk melanjutkan agenda politiknya. Itu adalah tindakan penyeimbangan halus yang lebih disukai oleh kubu penganut agama berhala melebihi orang-orang Kristen. Pertama, dia memberlakukan serangkaian peraturan yang memuliakan hari dewa Matahari, Dies Solis, atau hari Minggu. Pada mingguan planetari asli, hari Sabtu sebenarnya adalah hari pertama dalam mingguan itu. Hari Minggu adalah hari kedua dalam mingguan itu dan hari Jumat adalah hari ketujuh.

Namun, Matahari, adalah simbol pribadi dari Konstantin. Dia mempunyai ukiran Sol Invictus (Matahari Yang Tak Terkalahkan) pada koin-koinnya dan itu tetap menjadi slogan pribadinya di sepanjang hidupnya. Memuliakan hari Minggu diterima oleh para penganut agama berhala dan menjadi sesuatu yang telah dikompromikan oleh beberapa orang Kristen. Pada abad kedua, beberapa orang Kristen (terutama yang tinggal di wilayah barat) sudah menghadiri penghormatan hari Minggu sebagai hari kebangkitan Sang Juruselamat. Ini adalah awal yang dibutuhkan oleh Konstantin untuk menyatukan agama berhala dan agama Kristen.

Hukum hari Minggu Konstantin seharusnya tidak dinilai berlebihan. Dia memerintahkan pemeliharaan, atau lebih tepatnya melarang penodaan umum terhadap hari Minggu, bukan demi Sabbatum [hari Sabat] atau Dies Domini [hari Tuhan], tetapi demi gelar astrologi dan kafir lamanya, Dies Solis [hari Minggu], yang akrab bagi semua golongan yang ditujunya, sehingga hukum ini diberlakukan untuk para penyembah Hercules, Apollo, dan Mithras, sama seperti untuk orang-orang Kristen. Tidak ada referensi apapun dalam hukumnya yang terkait baik dengan perintah keempat atau dengan kebangkitan Kristus.[9]

Konstantin dipandang sebagai seorang Kristen karena hukum hari Minggunya, tapi "hukum hari Minggunya" dibuat ambigu. Dia ingin agar hukum itu diterima baik oleh penganut agama berhala maupun oleh orang-orang Kristen!

Bagaimana hukum yang seperti itu dapat memajukan rancangan Konstantin tidak sulit untuk ditemukan. Ini akan memberi kehormatan khusus pada perayaan dari gereja orang-orang Kristen,[10] dan itu akan memberikan keuntungan yang tidak sedikit untuk para penganut agama berhala itu sendiri. Bahkan tidak ada bagian dalam keputusan ini yang mungkin tidak ditulis oleh para penganut agama berhala. Hukum itu memberikan penghormatan kepada dewa berhala yang telah diadopsi oleh Konstantin sebagai dewa pelindung khususnya, Apollo atau dewa Matahari. Nama hari itu sendiri sesungguhnya sudah membuat ambigu. Istilah hari Minggu (dies Solis) telah digunakan di kalangan orang-orang Kristen sama seperti di kalangan para penganut agama berhala.[11]

Mingguan planetari yang berisi tujuh hari adalah kendaraan untuk melakukan perubahan. Baik mingguan delapan hari milik Julian maupun mingguan tujuh hari Alkitab dikesampingkan demi mingguan planetari agama Mithrais. Mingguan ini berasal dari agama berhala, bukan dari Alkitab sebagaimana yang disangkakan oleh orang-orang Kristen zaman sekarang. "Waktunya sudah matang untuk menyatukan negara dan gereja, yang masing-masing sudah saling membutuhkan. Karena kepintaran Konstantin dalam menyadari hal ini dan bertindak atasnya. Dia menawarkan perdamaian kepada gereja, asalkan gereja mau mengakui negara dan mendukung kekuasaan kekaisaran."[12]

Hukum hari Minggu Konstantin sudah menyatukan para penganut agama berhala dengan kebanyakan orang-orang Kristen. Namun, hukum ini juga digunakan untuk memunculkan pertikaian yang telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun: kapan waktu untuk merayakan pengorbanan Sang Juruselamat. Sampai masa ini, banyak orang Kristen, terutama yang tinggal di wilayah timur, masih beribadah pada Sabat hari ketujuh serta memelihara perayaan tahunan Yahuwah yang ditentukan dengan menggunakan kalender luni-solar Alkitab. Bahkan banyak orang yang menganut peribadatan pada hari Minggu masih menggunakan kalender yang Alkitabiah untuk menetapkan hari Paskah.

Paskah Easter | Paskah Kafir

Paskah Easter | Paskah Kafir

Itu adalah sebuah perdebatan lama yang melibatkan dua kalender yang berbeda.

Sejak abad kedua Masehi telah terjadi sebuah perbedaan pendapat mengenai tanggal untuk merayakan hari Paskah (Paskah Easter) peringatan hari kasih Tuhan (kematian, penguburan, dan kebangkitan-Nya). Pelaksanaan yang paling kuno tampaknya telah merayakannya pada tanggal keempat belas (tanggal Paskah Passover), kelima belas, dan hari keenam belas bulan lunar terlepas dari hari dalam mingguan [Julian] dimana tanggalnya mungkin jatuh dari tahun ke tahun. Para uskup Roma, yang berkeinginan untuk meningkatkan pemeliharaan hari Minggu sebagai hari perayaan bagi gereja, memutuskan bahwa perayaan tahunan harus selalu diadakan pada hari Jumat, hari Sabtu, dan hari Minggu setelah hari yang keempat belas dari bulan lunar. Di Roma, hari Jumat dan hari Sabtu Paskah Easter adalah hari berpuasa, dan pada hari Minggu puasa disudahi dengan menikmati perjamuan. Pertikaian ini telah berlangsung hampir dua abad, sampai Konstantin campur tangan atas nama para uskup Roma dan melarang praktek kelompok yang lain.[13]

Sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh Eusebius dari Kaisarea mengatakan bahwa gereja-gereja di Asia telah lama melakukan perayaan hari Paskah Passover pada tanggal 14 Abib, sedangkan gereja-gereja yang ada di wilayah barat telah dialihkan untuk merayakan Paskah Easter hari Minggu kafir:

Sebuah pertanyaan dengan kepentingan yang tidak kecil telah muncul pada waktu itu [akhir abad kedua] kepada paroki dari seluruh Asia, seperti dari tradisi yang lebih tua, menyatakan bahwa pada hari keempat belas bulan, hari di mana orang-orang Yahudi diperintahkan untuk mengorbankan anak domba, harus peringati sebagai hari raya Paskah Passover bagi sang Juruselamat. Oleh karena mereka harus menghentikan puasanya pada waktu itu, tanpa memandang hari itu jatuh pada hari apapun di dalam mingguan [Julian]. Tapi itu bukanlah kebiasaan dari semua gereja-gereja di seluruh dunia untuk mengakhirinya pada masa ini .... [14]

Siklus mingguan yang tidak terputus dari kalender Julian berarti bahwa Paskah Passover yang Alkitabiah pada tanggal 14 Abib bisa jatuh pada hari apapun dalam mingguan Julian. Akibatnya, tanggal 16 Abib, yaitu hari kebangkitan, tidak akan selalu jatuh pada hari Minggu. Mereka memaksakan perayaan Paskah Easter menurut kalender Julian dengan menyusun sebuah keputusan, yang menyatakan bahwa semua orang Kristen harus merayakan hari kebangkitan pada hari Minggu Paskah Easter, dan bukan pada hari Paskah Passover pada tanggal 14 Abib. Dengan demikian, peringatan hari suci kafir ini yang seolah-olah menghormati kebangkitan Yesus ini menggantikan Hari Raya Yahuwah untuk memperingati kematian Yahushua.

Sinode dan pertemuan para uskup diadakan untuk perihal ini, dan semuanya, dengan satu persetujuan, melalui korespondensi satu sama lain menyusun sebuah keputusan gerejawi, bahwa perihal kebangkitan Tuhan harus dirayakan bukan pada hari yang lain melainkan pada hari Tuhan [hari Minggu], dan bahwa kita harus melakukan penutupan puasa Paskah hanya pada hari ini saja.[15]

Kebangkitan: Paskah Easter? atau Buah Pertama?

Kebangkitan: Paskah Easter? atau Buah Pertama?

Mereka yang menganut penanggalan yang Alkitabiah segera memprotes keputusan para uskup di wilayah Barat. Dalam surat yang dikirim kepada Victor, Uskup Roma, Polycrates menyatakan keyakinannya untuk terus menggunakan kalender Alkitabiah untuk memperingati hari Paskah Passover. Suratnya sangat penting terutama untuk orang-orang Kristen pada zaman sekarang ini karena surat itu menyebutkan rasul Yohanes yang Dikasihi dan Rasul Filipus sebagai para pemelihara Paskah Passover! Eusebius mengatakan:

Tapi para uskup dari wilayah Asia, yang dipimpin oleh Polycrates, memutuskan untuk berpegang pada kebiasaan lama yang telah diturunkan kepada mereka. Dia sendiri, dalam surat yang dia tujukan kepada Victor dan gereja Roma, menjelaskan dalam kata-kata berikut kebiasaan yang telah diturunkan kepadanya:

Kami memperingati hari yang benar; bukan menambahkan, juga bukan menghilangkan. Karena di Asia juga terang yang besar telah tertidur, yang akan muncul kembali pada hari kedatangan Tuhan, ketika Dia akan datang dengan kemuliaan-Nya dari surga, dan untuk mendapatkan semua orang kudus. Di antaranya adalah Filipus, salah satu dari keduabelas rasul. . . dan, apalagi, Yohanes, yang adalah sekaligus sebagai saksi dan seorang guru, yang bersandar pada pangkuan Tuhan, dan. . . tertidur di Efesus. Dan Polikarpus di Smyrna, yang adalah seorang uskup dan telah menjadi martir. . . Mereka semua ini memperingati hari keempat belas Paskah Passover berdasarkan Injil, bukan untuk menyimpang dengan tidak hormat, tapi mengikuti aturan iman.[16]

Jika orang-orang percaya yang tinggal di Asia menolak untuk meninggalkan kalender Alkitabiah untuk menetapkan hari Paskah Passover, besar kemungkinan bahwa mereka juga telah menolak untuk meninggalkan Sabat yang sejati yang ditentukan dengan menggunakan kalender yang sama. Uskup Roma "segera berusaha untuk menyingkirkan paroki dari seluruh Asia dari persekutuan umum, dengan gereja-gereja yang setuju dengan mereka dan menganggapnya sebagai orang-orang yang menyimpang; dan dia menulis surat dan menyatakan semua saudara yang ada di sana telah sepenuhnya dikucilkan."[17]

Adalah penting untuk dicatat bahwa tidak pernah ada perdebatan mengenai kapan waktu kebangkitan benar-benar terjadi. Kedua kubu mengakui bahwa kebangkitan terjadi pada tanggal 16 Abib berdasarkan kalender luni-solar. Perselisihan, seperti yang tercantum dalam kutipan di atas, adalah lebih kepada kapan waktu untuk merayakannya. Tanggal-tanggal ditetapkan oleh kalender, sehingga pada akhirnya, itu adalah perdebatan mengenai kalender yang mana yang akan digunakan untuk menentukan waktu perayaan. Dalam rangka untuk benar-benar menyatukan orang-orang Kristen dan orang-orang kafir menjadi sama, peringatan hari penyaliban dan hari kebangkitan harus dipindahkan dari kalender luni-solar Alkitab ke kalender matahari Julian kafir. Empat tahun setelah keputusan untuk menghormati hari Minggu dikeluarkan pada tahun 321 M, Konstantin mengadakan Konsili Nicea pada tahun 325 untuk menyelesaikan perdebatan ini.

Peringatan hari pengorbanan Sang Juruselamat tidak lagi dapat dirayakan pada hari ke-14, 15 dan 16 dari bulan Abib berdasarkan kalender luni-solar. Di masa berikutnya, peringatan tersebut telah dipindahkan ke hari Jumat, hari Sabtu dan pada Paskah Easter hari Minggu berdasarkan kalender Julian, yang dapat mengambang dari tanggal 20-22 di bulan Maret sampai pada tanggal 22-25 di bulan April. Uskup Roma sendiri, yang menginginkan kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar, sangat memberikan pengaruhnya dengan Konstantin. "Pada masa pemerintahan Konstantin, kemurtadan di dalam gereja sudah siap untuk didukung oleh penguasa sipil yang ramah untuk memberikan kekuatan pemaksaan."[18]

Konstantin dengan tegas menginginkan agar penanggalan kaum Yahudi seharusnya tidak lagi digunakan untuk menetapkan tanggal-tanggal tersebut.

Pada Konsili Nice [Nicea], penghubung terakhir yang menghubungkan Kekristenan dengan induknya telah diputuskan. Perayaan Paskah Easter yang sampai hari ini dirayakan oleh sebagian besar orang bersamaan dengan Paskah Passover Yahudi, dan bahkan pada hari-hari yang telah dihitung dan ditetapkan oleh Sanhedrin di Yudea untuk dirayakan; namun di masa depan perayaan hari-hari tersebut telah sepenuhnya terbebas dari kalender Yahudi. Sebab adalah merupakan tindakan diluar kepantasan jika pada perayaan-perayaan Paskah Easter yang paling kudus ini kita harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang Yahudi.  Untuk selanjutnya, jangan sampai kita memiliki kesamaan dengan orang-orang najis ini; Juruselamat kita telah menunjukkan kepada kita jalan yang lain. Hal ini memang akan terlihat konyol jika orang-orang Yahudi dapat menyombongkan diri bahwa kita tidak dapat merayakan Paskah tanpa bantuan dari aturan-aturan mereka (perhitungan-perhitungan)". Pernyataan ini dikaitkan dengan Kaisar Konstantin. . . [Dan menjadi] prinsip Gereja sekarang untuk menentukan nasib orang-orang Yahudi.[19]

Konstantin telah mencapai tiga hal ini, sebuah efek bergelombang yang bergema sampai pada hari ini:

1. Membuat standar mingguan tujuh hari planetari yang membuat dies Solis (hari Minggu) menjadi hari pertama dalam setiap minggu, dan dies saturni (hari Sabtu) menjadi hari terakhir setiap minggu.

2. Meninggikan Paskah  Easter dan menjamin bahwa Paskah Passover yang sejati dan Paskah Easter kafir tidak akan pernah jatuh pada hari yang sama.

3. Meninggikandies Solis sebagai hari ibadah bagi orang-orang kafir dan orang-orang Kristen sekaligus.


Efek jangka panjang yang timbul membuat "Paskah Easter hari Minggu" masuk ke dalam pandangan orang-orang Kristen dan dianggap sebagai Hari kebangkitan Kristus. Akibat yang wajar dari penataan ulang perhitungan waktu ini adalah lahirnya anggapan bahwa hari sebelum Paskah Easter hari Minggu, yaitu hari Sabtu, adalah hari Sabat sejati yang kekal dari Alkitab. Ini adalah makna sebenarnya dari "hukum hari Minggu" Konstantin dan hal itu telah meletakkan dasar untuk asumsi moderen bahwa siklus mingguan tidak terputuslah yang selama ini ada.[20]

Hasil dari aksi Konstantin ini sebenarnya disukai kubu penganut agama berhala dalam kekaisaran. Namun, para uskup Roma yang korup mampu menyajikan tindakan ini sebagai aksi yang menguntungkan bagi orang-orang Kristen. "Pada masa pemerintahan Konstantin, kemurtadan di dalam gereja sudah siap untuk didukung oleh penguasa sipil yang ramah untuk memberikan kekuatan pemaksaan."[21] Kalender luni-solar yang sejati, yang diturunkan dari masa Penciptaan dan pada zaman Musa, telah hilang.

Hasil

Hasil dari paham ekumene Konstantin dengan cepat terasa. Semua orang yang menolak untuk meninggalkan penggunaan kalender Alkitabiah untuk menetapkan hari Paskah Passover, merasakan tangan penindasan berat yang menimpa mereka. Anak Konstantin, Konstantius, membawa tindakan ayahnya satu langkah lebih jauh dengan melarang orang-orang Yahudi juga untuk menggunakan kalender Alkitab. Sejarawan David Sidersky menemukan bahwa: "Adalah sudah lebih tidak mungkin lagi di bawah pemerintahan Konstantius untuk menerapkan kalender yang lama".[22]

Dalam tahun-tahun berikutnya, orang-orang Yahudi berjalan melalui "besi dan api". Kaisar Kristen melarang perhitungan kalender Yahudi, dan tidak mengijinkan pengumuman hari-hari raya. Graetz mengatakan, "Masyarakat Yahudi yang tersisa telah dibiarkan berada dalam keraguan mengenai keputusan keagamaan yang paling penting: contohnya yang berkaitan dengan perayaan-perayaan agama mereka". Dampaknya kemudian adalah pembuatan sebuah kalender dan perhitungan Ibrani yang tetap oleh Hillel II.[23]

Perubahan: Kekristenan Menjadi Kafir

Perubahan: Kekristenan Menjadi Kafir

Tindakan Konstantius juga berdampak pada orang-orang Kristen kerasulan. Walaupun Tertullian[24] mengungkapkan Kekristenan yang sudah dikafirkan sudah memindahkan hari ibadah mereka ke "hari dewa Matahari" pada awal abad kedua, namun orang-orang yang lain tetap memelihara hari Sabat yang sejati selama lebih dari 1.000 tahun. Hampir 40 tahun setelah Konsili Nicea, Dewan Laodikia (363-364 M) merilis sebuah pernyataan yang menuntut agar orang-orang Kristen bekerja pada hari Sabat dan menjauhkan diri dari setiap pekerjaan pada hari Tuhan [hari Minggu]. Keputusan ini, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyatakan:

Orang-orang Kristen tidak boleh menjadi sama dengan orang-orang Yahudi dan menganggur pada hari Sabtu, tetapi harus bekerja pada hari itu; tapi hari Tuhan mereka harus hormati secara khusus, dan, sebagai orang Kristen, harus, jika mungkin, tidak melakukan pekerjaan pada hari itu. Namun jika, mereka ditemukan menjadi sama seperti orang-orang Yahudi, mereka akan dibuang dari Kristus.

Menurut seorang sarjana dan uskup Katolik Roma, Karl Josef von Hefele (1809-1893), penggunaan kata "hari Sabtu" dalam kutipan di atas tidak benar. Dalam bahasa aslinya, kata yang digunakan adalah hari Sabat atau Sabbato bukan dies saturni atau hari Sabtu.

Quod non oportet Christianos Judaizere et otiare in Sabbato, sed operari in eodem die. Preferentes autem in veneratione Dominicum diem si vacre voluerint, ut Christiani hoc faciat; quod si reperti fuerint Judaizere Anathema sint a Christo.

Orang-orang Kristen pada saat perubahan kalender terjadi tidak bingung mengenai hari Sabtu yang berubah menjadi hari Sabat. Semua orang tahu bahwa dies saturni baru saja dipindahkan dari hari pertama pada mingguan planetari kafir ke hari terakhir. . . sementara Sabbato adalah hari ketujuh berdasarkan kalender luni-solar Yahudi dengan tidak ada yang dalam kekuasaannya ingin dikaitkan. Sekali lagi, ini adalah dua hari yang berbeda pada dua sistem kalender yang berbeda.[25]

Kekuatan politik Roma memberikan dukungan kepada keputusan keagamaan Konstantin dan Konstantius. Sementara beberapa sarjana telah keliru menganggap bahwa konflik itu mengenai hari Sabtu melawan hari Minggu, fakta sejarah menunjukkan bahwa orang-orang saat itu menyadari keberadaan kalender luni-solar Alkitab dan bagaimana menggunakannya. Banyak orang-orang percaya yang tinggal di wilayah timur atau di luar jangkauan Kekaisaran Romawi tidak suka meninggalkan pengatur-waktu Alkitab. "Orang-orang Kristen ini yang sedang mencari jalan keluar dari kesulitan mereka memelihara hari Sabat berpindah menjadi lebih menghormati hari pertama dari mingguan [Julian]. Tetapi orang-orang lain di pinggiran Kekaisaran, di mana anti-paham Yahudi tidak ada, mereka tetap melanjutkan penghormatan mereka pada Sabat hari ketujuh."[26]

REAKSI

Hillel II

Sama seperti Konstantin yang menjadi kekuatan di balik tindakan yang akhirnya menyebabkan kehancuran kalender Alkitabiah untuk digunakan oleh orang-orang Kristen, pria lain, seorang Yahudi, bertanggung jawab untuk reaksi yang memiliki dampak yang berpengaruh sangat jauh.

"Menyatakan bulan baru melalui pengamatan bulan baru, dan tahun baru melalui datangnya musim semi, hanya dapat dilakukan oleh Sanhedrin. Pada masa Hillel II, Presiden terakhir dari Sanhedrin, orang Romawi melarang praktik ini. Oleh karena itu Hillel II terpaksa menetapkan kalender tetapnya, sehingga menjadi dasar pemberian persetujuan dari Sanhedrin terhadap semua kalender pada tahun-tahun mendatang."

"The Jewish Calendar and Holidays (incl. Sabbath): The Jewish Calendar: Changing the Calendar," http://www.torah.org.

Sebelum masa hancurnya kota Yerusalem, Imam Besar sudah memiliki tugas yang terkait dengan kalender. "Walaupun Sanhedrin (Mahkamah Agung Kerabian) memimpin di Yerusalem, tidak ada kalender yang tetap. Mereka akan mengevaluasinya setiap tahun untuk menentukan apakah itu harus dinyatakan sebagai tahun kabisat."[27] Tugas ini menjadi tanggung jawab presiden Sanhedrin ketika imam tidak bisa lagi. "Di bawah pemerintahan Konstantius (337-362 M) penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi mencapai puncak yang sedemikian itu. . . perhitungan kalender itu [telah] dilarang di bawah tekanan penderitaan dan penghukuman yang berat."[28] Dan sebagai reaksi terhadap situasi inilah yang membuat Hillel II, Presiden Sanhedrin, mengambil langkah luar biasa pada tahun 359 M dengan memodifikasi kalender Alkitab kuno agar dapat memungkinkan orang-orang Yahudi untuk lebih mudah hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen.

Setelah Zaman Hillel II

Jemaat-jemaat yang jauh tidak lagi harus menunggu utusan dari Presiden Sanhedrin untuk menjangkau mereka dan memberi tahu kapan bulan baru akan dimulai. Setiap komunitas selanjutnya akan dapat menentukan sendiri waktu bulan baru dimulai dan kapan sebuah bulan ke-13 akan ditambahkan.

Kalender "Tetap"

Ketika Hillel II membuat sebuah kalender "tetap", dia menggabungkan tahun kabisat secara permanen.[29] Hal ini mungkin, tetapi tidak dapat dibuktikan, bahwa siklus tertentu dari tahun kabisat telah digunakan dan dipahami sebelum zaman Hillel dengan mengikuti siklus metonik 19 tahun. Hillel mendasarkan kalendernya "pada perhitungan matematika dan astronomi [dan bukannya pada pengamatan]. Kalender ini, masih terus digunakan, dengan membuat standar panjangnya bulan dan penambahan bulan selama siklus 19 tahun, sehingga kalender lunar terkait dengan tahun matahari."[30] Dia menyatakan bulan ketiga belas untuk diselingi pada setiap tahun ke-3, 6, 8, 11, 14, 17, dan tahun ke-19 dalam siklus 19-tahun.

Tapi Hillel melakukan lebih dari sekedar memperkenalkan sisipan dalam siklus 19-tahunan, yang kemungkinan besar, telah digunakan selama itu. Dia juga mengalihkan pemeliharaan Sabat kuno dari hari ke-8, 15, 22 dan 29 dari bulan lunar, ke setiap hari Sabtu dari bulanan kalender Julian. Perubahan ini masih mengharuskan aturan lain: aturan penundaan. Mengubah hari Sabat mingguan dari kalender luni-solar ke hari Sabtu jelas membuat aturan penundaan dibutuhkan, sebelum zaman Hillel "memperbaiki" kalender, aturan itu tidak diperluhkan. Menurut Universal Jewish Encyclopedia, "Bulan Baru itu masih tetap, dan hari Sabat awalnya adalah, tergantung pada siklus bulan."[31]Ketika hari Sabat dan hari-hari raya tahunan dihitung dengan menggunakan kalender luni-solar, aturan pembatalan itu tidak diperlukan. Hanya ketika perayaan tahunan akan dihitung dengan satu kalender, dan hari Sabat mingguan dihitung dengan kalender yang lain lagi, maka akan ada konflik yang membutuhkan aturan penundaan.

Aturan Penundaan

1. Tahun Baru Yahudi, Hari Raya Terompet, tidak boleh jatuh pada hari Minggu, Rabu atau Jumat.

2. Jika Bulan Baru (Molad) untuk bulan ketujuh jatuh pada hari Minggu, Rabu atau Jumat, maka Bulan Baru akan ditunda sampai hari berikutnya.

3. Jika Molad dari bulan ketujuh dalam satu tahun yang sama terjadi pada hari Selasa pukul 3: 204/1080 subuh atau lebih lambat, maka Bulan Baru ditunda sampai hari Kamis.

4. Pada tahun yang sama setelah tahun kabisat, jika Molad dari bulan ketujuh terjadi setelah jam 9 pagi dan 589/1080 bagian pada Senin pagi, Bulan Baru ditunda sampai hari Selasa.

Tanpa aturan penundaan, perayaan tahunan akan bermasalah dengan hari Sabtu. Misalnya, jika Hari Raya Terompet (Bulan Baru pada bulan ketujuh) jatuh pada hari Minggu, maka hari terakhir dari Hari Raya Bait Suci akan jatuh pada hari Sabtu, itu akan bertentangan dengan tradisi pemeliharaan di hari terakhir perayaan itu. Maka di sini dibutuhkan aturan pertama dan kedua dari aturan penundaan itu. Aturan penundaan yang ketiga menjamin bahwa tahun umum yang bersangkutan tidak akan lebih lama dari 355 hari. Aturan penundaan yang keempat menjamin bahwa tahun umum yang mengikuti tahun kabisat tidak lebih pendek dari 383 hari.[32]

Kalender "tetap" ini sangat ketat.

Tepatnya ada empat belas pola yang berbeda yang dapat terjadi pada kalender Ibrani, yang dibedakan oleh panjangnya tahun dan hari minggu di mana Rosh Hashanah jatuh. Karena aturan yang kompleks, pola dapat terulang beberapa kali dalam perjalanan beberapa tahun, dan kemudian tidak terulang lagi untuk waktu yang lama. Tapi kalender Yahudi dikenal sangat akurat. Kalender itu tidak "kehilangan" atau "mendapatkan" beberapa waktu seperti yang terjadi pada kalender lain.[33]

Tindakan Hillel II ini adalah sebuah tindakan untuk bertahan hidup. Itu dibuat sebagai tanggapan terhadap penganiayaan brutal dari anak Konstantin, yaitu Konstantius.

Dengan tangannya sendiri Pemimpin itu menghancurkan ikatan terakhir yang menyatukan masyarakat yang tersebar di seluruh kerajaan Roma dan Persia melalui Kepemimpinan. Dia lebih peduli pada kepastian kelanjutan agama Yahudi daripada martabat rumahnya sendiri, dan karena itu dia meninggalkan aturan-aturan yang karenanya nenek moyangnya. . . telah begitu dicemburui dan dicemaskan. Para anggota Synhedrion menyukai inovasi ini.[34]

Ketika Hillel II membuat kalender yang "tetap", dia, dalam posisinya sebagai Presiden Sanhedrin, secara efektif memberi izin untuk orang-orang Yahudi untuk beribadah pada hari Sabtu pada seluruh waktu di masa datang.

Hasil

Hari ini, hampir 1.700 tahun kemudian, aksi Konstantin yng menghasilkan reaksi dari Hillel II, masih berdampak pada ratusan juta orang di seluruh dunia.

• Umat Katolik beribadah pada hari Minggu untuk menghormati hari kebangkitan. Hal ini sesuai dengan tindakan Konstantin yang merubah peringatan hari Paskah Passover yang semula ditentukan dengan kalender luni-solar menjadi peringatan hari Paskah Easter yang ditentukan dengan menggunakan kalender matahari kafir.

• Umat Yahudi beribadah pada hari Sabtu karena hukum Talmud membenarkan tindakan memelihara satu hari dalam tujuh hari ketika seseorang tidak tahu kapan hari Sabat yang sebenarnya tiba.

• Kebanyakan umat Protestan bergabung dengan umat Katolik untuk beribadah pada hari Minggu, hari pertama dalam mingguan Gregorian [masehi] moderen, dengan asumsi bahwa itu adalah hari kebangkitan.

• Para pemelihara hari Sabat-Sabtu yang beraliran Protestan beribadah pada hari Sabtu karena itulah hari ketujuh dalam mingguan moderen dan mereka menganggap bahwa karena orang-orang Yahudi beribadah pada hari Sabtu, maka hari itu sudah pasti adalah hari Sabat yang Alkitabiah.

• Umat Muslim, juga, menghormati metode penanggalan kepausan Gregorian/kafir dengan cara pergi ke masjid untuk shalat pada hari Jumat.


Adalah tidak mungkin untuk menemukan Sabat hari ketujuh yang sejati dengan menggunakan kalender Gregorian moderen [kalender masehi]. Kalender matahari ini tidak lebih dari sebuah metode perhitungan waktu para penganut agama berhala. Kalender Julian mula-mula di buat oleh para penganut agama berhala, untuk para penganut agama berhala. Secara resmi diadopsi untuk digunakan oleh gereja pada Konsili Nicea. Kalender ini kemudian diperbaiki oleh seorang ahli astronom  Yesuit, Christopher Clavius, atas perintah Paus Gregorius XIII – sehingga nama kalender ini diberi nama, kalender Gregorian. Clavius ​​menegaskan bahwa kalender Julian (dan dengan demikian menjadi kalender Gregorian setelah itu) dibuat oleh agama berhala dan tidak memiliki hubungan apapun dengan kalender yang Alkitabiah.

Dalam penjelasannya mengenai kalender Gregorian, Clavius ​​mengakui bahwa ketika kalender Julian diterima sebagai kalender gerejawi Gereja, kalender Alkitabiah telah ditolak: "Gereja Katolik tidak pernah menggunakan cara-cara peribadatan [Yahudi] dalam merayakan Paskah Passover, tapi selalu di dalam perayaan itu mengamati gerak bulan[35] dan matahari, dan dengan demikian bukan hanya telah disucikan oleh Paus yang paling tua dan paling suci Roma, tetapi juga telah dikonfirmasi oleh Dewan Nicea pertama."[36] “Paus paling tua dan yang paling suci” Roma yang di sini dibicarakan mengacu pada lembaga Kepausan kafir, dimana Konstantin, sebagai Pontifex Maximus, menjadi pemimpinnya.

Konstantin menginginkan kesatuan. Dia mencapai tujuan ini melalui paham ekumene dan melarang penggunaan kalender Alkitabiah untuk memperingati kematian Yahushua. Hillel II menginginkan kelangsungan hidup agama Yahudi secara fisik. Dia mencapai tujuannya dengan berkompromi dengan agama berhala dan merubah kalender Alkitab. Hasil dari tindakan ini dan yang disertai dengan reaksinya adalah telah munculnya asumsi pada orang banyak orang bahwa hari Sabtu adalah hari Sabat Alkitab dan hari Minggu adalah hari di mana Sang Juruselamat dibangkitkan. Dengan demikian, orang-orang Kristen dan umat Yahudi telah menentukan hari-hari ibadah mereka dengan menggunakan penanggalan matahari kafir, dan mengabaikan Sabat yang sejati dari Yahuwah.

Tidak ada orang yang tetap ingin menyembah Sang Pencipta pada hari Sabat-Nya yang kudus yang akan menentukan hari-hari ibadah mereka dengan pembinasa keji yang tidak menghormati Yahuwah dan membinasakan jiwa ini. Hanya kalender luni-solar Penciptaan yang dapat menentukan kapan Sabat yang sejati terjadi. Singkirkan tradisi manusia. Terima hanya firman Yahuwah saja dan beribadahlah kepada-Nya menurut metode penghitung-waktu-Nya yang telah Dia tetapkan.


[1] Gelar ini, yang sekarang diklaim oleh paus, berasal dari Roma kuno.  Pontifex Maximus adalah imam besar dari lembaga Kepausan dari agama berhala Roma.  Lembaga ini sekaligus sebagai lembaga agama dan kantor politik.

[2] New Catholic Encyclopedia, Vol. 4, pp. 179-181.  Berbagai jenis ukiran sebagaimana yang tercantum di dalam Corpus Inseriptionum Latinarum, 1863 ed., Vol. 2, hal. 58, #481; “Konstantin I”, New Standard Encyclopedia, Vol. 5.  Lihat juga Christopher B. Coleman, Konstantin the Great and Christianity, hal. 46.

[3] Lihat Robert L. Odom, Sunday in Roman Paganism, “The Planetary Week in the First Century B.C.”

[4] P. Brind'Amour, Le Calendrier romain: Recherches chronologiques, 256–275.

[5] https://en.wikipedia.org/wiki/Roman_calendar#Nundinal_cycle

[6] Eviatar Zerubavel, The Seven-day Circle, p. 46, penekanan diberikan.

[7] Franz Cumont, Textes et Monumnets Figures Relatifs aux Mysteres de Mithra, Vol. I, hal. 112, penekanan diberikan.

[8] E. Diehl, Inscriptiones Latinae Christianae Veteres, Vol. 2, hal. 193, No. 3391.  Lihat juga J. B. de Rossi, Inscriptiones Christianac Urbis Romae, Vol. 1, part 1, hal. 18, No. 11.

J. B. de Rossi, 

[9] Philip Schaff, History of the Christian Church, Vol. III, p. 380, penekanan diberikan.

[10] Sejak masa ini, orang-orang Kristen yang sudah dikafirkan di wilayah Barat sepangjang waktu memuliakan hari Minggu sebagai hari kebangkitan Yahushua.

[11] J. Westbury-Jones, Roman and Christian Imperialism, p. 210, penekanan diberikan.

[12] Michael I. Rostovtzeff, The Social and Economic History of the Roman Empire, hal. 456.

[13] Odom, op. cit., hal. 188, penekanan diberikan.

[14] Eusebius, Church History, Book V, Chapter 23, v. 1, penekanan diberikan.

[15] S.d.a., v. 2.

[16] S.d.a., Chapter 24, v. 1-4, 6, penekanan diberikan.

[17] S.d.a., v. 9.

[18] Michael I. Rostovtzeff, The Social and Economic History of the Roman Empire, hal. 456.

[19] Heinrich Graetz, History of the Jews, (Philadelphia: The Jewish Publication Society of America, 1893), Vol. II, hal. 563-564, penekanan diberikan.

[20] eLaine Vornholt & Laura Lee Vornholt-Jones, Calendar Fraud, “Biblical Calendar Outlawed,” penekanan diberikan.

[21] Rostovtzeff, s.d.a., hal. 456.

[22] David Sidersky, Astronomical Origin of Jewish Chronology, p. 651, penekanan diberikan.

[23] Grace Amadon, “Report of Committee on Historical Basis, Involvement, and Validity of the October 22, 1844, Position”, Part V, Sec. B, hal. 17-18, Box 7, Folder 1, Grace Amadon Collection, (Collection 154), Center for Adventist Research, Andrews University, Berrien Springs, Michigan.

[24] Tertullian,Apologia, chap. 16, in J. P. Migne, Patrologiæ Latinæ, Vol. 1, cols. 369-372; standard English translation in Ante-Nicene Fathers, Vol. 3, hal. 31.

[25] Vornholt, op. cit., “Changing the Calendar: Papal Sign of Authority.”

[26] Leslie Hardinge, Ph.D., The Celtic Church in Britain, hal. 76.  Orang-orang Kristen di Skotlandia terus melanjutkan untuk menentukan Paskah Passover dengan menggunakan kalender Alkitabiah sampai mereka dipimpin oleh seorang ratu penganut Katolik Roma pada abad ke sebelas.

[27] http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/526875/jewish/The-Jewish-Year.htm

[28] Dikutip dari  The Jewish Encyclopedia, “Calendar, History of,” http://jewishencyclopedia.com/articles/3920-calendar-history-of, penekanan diberikan.

[29] Untuk mendapatkan penjelasan bagaimana kalender kerabian buatan Hillel II dihitung, silahkan lihat http://www.jewfaq.org/calendr2.htm.

[30] Judaism 101, "Jewish Calendar," www.jewfaq.org

[31] Universal Jewish Encyclopedia, "Holidays," hal. 410.

[32] http://www.ironsharpeningiron.com/postponements2.htm

[33] http://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/526875/jewish/The-Jewish-Year.htm

[34] Graetz, op. cit., Vol. II, hal. 573.

[35] “Paskah Easter adalah sebuah perayaan yang bisa dipindah-pindah, artinya perayaannya tidak selalu jatuh pada tanggal yang sama setiap tahun. Bagaimana tanggal Paskah Easter ditentukan? Konsili Nicea (thn. 325 M) telah mengatur tanggal untuk Paskah Easter pada hari Minggu setelah bulan purnama paskah, yaitu bulan purnama yang terjadi setelah titik balik musim semi.”  (http://catholicism.about.com/od/holydaysandholidays/f/Calculate_Date.htm)

[36] Christopher Clavius, Romani Calendarii A Gregorio XIII P.M. Restituti Explicato, hal. 54.