Print

Perubahan: Kekristenan Menjadi Kafir

Nama-nama kafir dari minggu planetari telah dipatenkan di dalam kalender dan digunakan diantara negara-negara yang disebut Kristen. Setiap kali kita melihat kepada kalender yang sudah kita punya sebelumnya, itu menjadi pengingat yang tetap pada penggabungan kekafiran dan kekristenan yang terjadi karena kemurtadan agama yang besar - "kemurtadan" seperti kata rasul Paulus, yang muncul pada abad-abad pertama gereja Kristen dan membuat pertentangan aliran dan kepercayaan Babel moderen yang mengaku berada di dalam Kristus.(1)

Hal ini dapat dipahami, meskipun disayangkan, bahwa orang Kristen moderen menganggap waktu dalam seminggu seperti yang dikenal hari ini telah berlangsung terus-menerus tanpa henti sejak masa Penciptaan: seluruh dunia telah bersatu menggunakan kalendar Gregorian selama 60 tahun, sementara di belahan dunia bagian barat telah menerima kalendar Julian hampir 2,000 tahun yang lalu!  Namun, pengabaian kebenaran tidak mengubah kebenaran itu sendiri; seperti yang Yahuwah katakan di dalam Hosea 4: 6: “Umat-Ku binasa karena kurang pengetahuan.” Inilah tanggung jawab setiap orang untuk mencari tahu sendiri apa yang benar dan menghidupi hidup mereka sesuai dengan pengetahuan itu.

Penggabungan Kekristenan dengan agama kafir dalam bentuk paham Mithra adalah sebuah proses yang terjadi dalam kurun beberapa ratus tahun. Ketika proses itu telah berhasil, hari Sabat yang sejati dari perintah keempat telah hilang dengan anggapan bahwa bentuk moderen  dari mingguan planetari ini tidak berubah sejak masa Penciptaan. Sementara referensi bagi umat Kristen mula-mula yang masih terjerumus dalam praktek-praktek kafir dapat dilihat dalam Perjanjian Baru, perubahan terbesar menyelinap di dalam metode-metode penanggalan. Kalendar solar Julian dengan siklus mingguan tidak terputus sangat berbeda dari kalendar luni-solar yang digunakan oleh orang Yahudi dan umat Kristen rasuli. Melakukan usaha dengan sekelompok orang yang menggunakan metode perhitungan waktu yang berbeda adalah sulit. Pada awal akhir abad pertama, Ignatius “mempelopori gerakan menuju penggantian pengudusan hari Minggu ke pengudusan hari Sabat.”(2)

Umat Kristen di Roma termasuk diantara mereka yang pertama-tama memulai ibadah dengan menggunakan kalender Julian ketimbang kalender Alkitabiah. Hal ini menciptakan kebingungan di tengah-tengah para penyembah berhala.  Sekitar tahun 175-178 Masehi, Celsus, seorang filsuf dan Pembela Roma, menulis On the True Doctrine: A Discourse Against the Christians.(3) Ini merupakan sebuah kecaman yang kuat atas Kekristenan. Meskipun dalam tulisannya mengatakan “sedikit bukti yang terhitung dari kegetiran yang menandakan serangan-serangan [dari sebagian besar penyembah berhala]”(4) namun dia mengejek orang Kristen karena meniru orang kafir. “Hasil pekerjaannya adalah menempatkan orang Kristen dalam posisi yang tidak menguntungkan di mata orang-orang Roma dan penguasa mereka.”(5)

Tak satu pun salinan karya Celsus yang masih ada, sebagian besarnya dikutip dalam sebuah karya besar Origen, Contra Celsum.  Salah satu kutipan sangat menarik karena mengacu kepada Mithraisme dan dewa-dewa planet.(6) Juga, menarik untuk dicatat, bahwa Origen tidak mencoba untuk menyangkal setiap persamaan Celsus mengenai Kekristenan dan Mithraisme, melainkan hanya berusaha untuk menghindari tuduhan.(7)

Perkembangan beberapa orang Kristen yang menganut praktek-praktek kafir telah membingungkan banyak penyembah berhala di Roma.  Tertullian (tahun160-225), seorang penulis gereja mula-mula, menulis sebuah pembelaan umat Kristen yang mengungkapkan proses yang menyebabkan beberapa orang Kristen kemudian beribadah pada hari Minggu, yang lain pada hari Sabtu, dan yang lainnya lagi berpegang kepada Sabat Alkitabiah (melalui perhitungan bulan lunar). Pernyataan-pernyataannya dengan jelas mengungkapkan bahwa umat Kristen telah salah karena paham Mithrais:

Yang lain, tentunya lebih berbudaya, berpikir bahwa Matahari adalah dewa orang Kristen, karena diketahui bahwa kita berdoa ke arah timur dan membuat perayaan pada hari Matahari. Apakah yang anda lakukan masih kurang? Tidak sebagian besar dari anda, dalam kepura-puraan menyembah benda-benda langit, terkadang menggerakkan bibir anda ke arah matahari terbit.  Anda tentunya merupakan orang-orang yang juga menerima Matahari dimasukkan ke dalam daftar tujuh hari, dan lebih menyukainya dari antara hari-hari lainnya . . . .(8)

Sangat mudah melihat bagaimana orang-orang Kristen yang beribadah pada hari Minggu akan membingungkan dimata para penyembah berhala.  Beberapa persamaan antara Kristus dan dewa Mithra yang diklaim antara lain:

Ketika orang-orang Kristen juga mengadopsi kalendar Julian untuk beribadah, para penyembah berhala dapat melihat tinggal sedikit perbedaan antara Kekristenan dan paham Mithrais mereka sendiri, selain dari penolakan Kristen terhadap pembakaran dupa untuk kaisar, yang dipandang sebagai pengkhianatan. Kutipan Tertullian yang lain juga sangat penting, yang sekali lagi mengungkapkan perbedaan praktek-praktek di antara orang-orang Kristen, ada beberapa orang yang beribadah pada hari Minggu, yang lain pada hari Sabtu yang dia tunjukkan sebagai sebuah bentuk penyimpangan  dari praktek Yahudi (orang-orang Kristen rasuli pada masa itu masih menguduskan hari Sabat yang ditentukan dengan kalender Alkitab) :

"Kita telah ditaklukkan kepada orang-orang Persia [Mithrais], mungkin . . . karena alasan ini, saya mengira, karena kita dikenal beribadah menghadap ke timur  . . . Juga, jika kita melakukan perayaan untuk menguduskan hari Minggu (dengan alasan yang jauh berbeda dengan para penyembah Matahari), kita menjadi sama dengan mereka yang menguduskan hari Sabtu, mereka juga telah menyimpang dari cara dan kebiasaan orang-orang Yahudi yang mereka tolak."(10)

Kutipan ini menegaskan bahwa ibadah pada hari Sabtu  merupakan sebuah penyimpangan dari kebiasaan orang Yahudi yang beribadah pada hari ketujuh berdasarkan kalender asli.

Jangan menganggap bahwa karena beberapa orang Kristen menerima penanggalan dan praktek-praktek kafir maka perubahan yang terjadi itu tidak mendapatkan protes dari umat Kristen lainnya.  Umat Kristen rasuli, yaitu mereka yang benar-benar mematuhi ajaran-ajaran para rasul dan keturunan-keturunan rohani langsung mereka, sangat kecewa terhadap apa yang mereka lihat yaitu kemurtadan para penyembah berhala yang masuk ke dalam gereja. Prasangka yang melawan umat Kristen menjadi ekstrim. Padahal, kekuatan utama dari karya Tertullian, Apologetikum itu, adalah  membela Kekristenan melawan perlakuan orang Kristen yang tidak masuk akal melalui para penyembah berhala.

Tertullian, telah dianugerahi dengan sebuah kecerdasan yang menusuk dan dengan kegemaran besar akan ironi, menunjukkan  perlakuan yang tidak konsisten dari orang-orang Kristen dibanding penjahat-penjahat pada umumnya oleh para hakim.(11) Sementara penjahat umum disiksa sampai ia mengakui kejahatannya, orang-orang Kristen yang mengaku “Kristen” disiksa sampai mereka menyangkalnya.  Ketika orang-orang Kristen dituduh melakukan ritual hubungan sedarah dan memakan bayi-bayi, tuduhan tersebut tidak pernah terbukti. Selain itu, Tertullian dengan sinis mengamati, para penyembah berhala (yang membuang anak-anak yang tidak diinginkan) sangat tidak bermoral dan hubungan sedarah bagi mereka adalah sesuatu yang tak terelakkan jika kejadiannya tidak diketahui!

Umat Kristen masa kini ada bukan untuk menghakimi mereka yang pernah melalui penganiayaan ekstrim di masa lalu. Namun, seharusnya dipahami bahwa penyembahan berhala dapat dianiaya karena setia kepada Sabat Alkitabmenerobos ke dalam Kekristenan setelah melalui protes ekstrim dan melalui darah para martir.  Mereka yang menolak untuk menjatuhkan dupa untuk menghormati kaisar yang “mulia” akan dipaksa untuk memegang segenggam dupa yang dicampur dengan bara api.  Jika campuran pembakaran tersebut dijatuhkan karena refleks atau jatuh hanya setelah jari-jari terbakar, para penyembah berhala akan bersukacita bahwa penghormatan yang pantas telah diberikan untuk kaisar.(12)

Orang-orang Kristen juga diharapkan mempersembahkan dupa bagi dewa-dewa Roma yang lain. “Berdoa kepada planet-planet pada masing-masing hari mereka adalah bagian dari penyembahan benda-benda langit.”(13) Beberapa teolog moderen mengakui, “Ya, ketika Sabat hari ketujuh ditentukan dengan kalendar Alkitab, itu akan sangat berbeda; tetapi semua yang Tuhan minta dari kita adalah untuk menguduskan Sabat hari ketujuh dengan kalendar apapun yang masyarakat gunakan.” Keyakinan seperti ini mengungkapkan kurangnya pengetahuan yang tragis mengenai masalah-masalah yang dihadapi.  Pada mingguan planetari dengan tujuh dewa-dewa astrologi secara jelas terlihat oleh orang-orang Kristen rasuli berhubungkan dengan penyembahan setan. Alkitab bersikukuh bahwa ritual kekafiran tidak lain adalah penyembahan setan: “Yang kumaksudkan ialah, bahwa persembahan bangsa-bangsa kafir [penyembah berhala] adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Yahuwah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan roh-roh jahat.”(14)

Ilustrasi di atas(15) ditemukan di dalam Tortures and Torments of Christian Martyrs menunjukkan seorang martir, tokoh A, dipaksa untuk memegang segenggam bara api.(16) keterangannya berbunyi: “Martir yang tangannya dipenuhi dengan dupa yang dicampur bersama bara api, dan siapa yang karena rasa sakit sehingga menyebarkan dupa tersebut dianggap telah berkorban untuk berhala.”  Gugusan halilintar di dalam bentuk X yang lazim dengan baut tebal yang terbagi dua, mengungkapkan bahwa berhala tersebut adalah dewa planet, Jupiter.(17) Tidak ada orang Kristen sejati, yang mau hidupnya selamat, mau mempersembahkan dupa untuk dewa planet dihari tersebut, bahkan untuk Saturnus –bahkan jika Sabat hari ketujuh pada bulan itu bertepatan dengan hari Saturnus.  Melakukan hal yang demikian dianggap mengakui Saturnus sebagai “dewa” pada masa itu.

Penanggalan mencakup banyak masalah yang lebih besar dari yang telah dipahami. Hari di mana orang beribadah menunjukkan Pribadi berkuasa/dewa yang disembah. Orang Kristen mula-mula tahu betul bahwa beribadah dengan menggunakan kalendar penyembah berhala adalah memberikan penghormatan kepada dewa berhala. Dengan beribadah menggunakan kalendar luni-solar Pencipta, mereka menyatakan kesetiaan mereka kepada Eloah yang di Sorga.

Penerimaan Kekristenan akan penanggalan penyembah berhala tidak terjadi hanya dalam semalam. Beberapa orang Kristen berkompromi pada satu hal, dan yang lainnya pada hal lain.  Beberapa berpegang teguh pada kalendar luni-solar, sementara yang lain menguduskan Sabat lunar, tetapi juga mengakui hari Minggu. Yang lainnya menguduskan baik hari Sabtu maupun hari Minggu, sementara beberapa hanya beribadah pada hari Minggu. Kompromi-kompromi dari satu generasi akan berlanjut sedikit demi sedikit.

"Setiap langkah dalam proses kemurtadan juga merupakan setiap langkah yang diambil dalam mengikuti bentuk-bentuk ibadah pada matahari, yang berlawanan dengan penerimaan pemeliharaan hari Minggu itu sendiri, telah diprotes terus menerus dari orang-orang Kristen yang benar. Mereka yang tetap taat kepada Kristus dan pada kebenaran firman yang murni dari [Yahuwah] tetap memelihara hari Sabat [Tuan] berdasarkan Sepuluh Perintah, dan berdasarkan firman [Yahuwah] yang telah menetapkan perintah ke-empat hari Sabat sebagai materai-Nya, Sang Pencipta langit dan bumi, yang membedakan-Nya dari semua allah-allah lain. Ini adalah dasar dari protes melawan setiap bentuk penyembahan terhadap matahari. Tetapi orang-orang lain tetap berkompromi, khususnya yang tinggal di Timur, mereka menguduskan keduanya sekaligus; hari Sabat dan hari Minggu. Tetapi di Barat, dibawah pengaruh Roma  dan dibawah kepemimpinan gereja dan keuskupan Roma, hanya hari Minggu yang diadopsi dan dikuduskan."(18)

Karena kalendar-kalendar tersebut sangat berbeda, setiap bagian kehidupan akan selalu terpengaruh. Mereka yang tidak memiliki hati yang mau berkomitmen pada pengajaran yang murni akan mudah berkompromi. Para sarjana percaya bahwa Eusebius dari Kaisarea adalah penulis gerejawi pertama yang merohanikan nama kafir “hari Minggu” untuk membuatnya lebih cocok bagi umat Kristen. Dia berkata tentang dies Solis, Hari Minggu: “Demi jiwa-jiwa kami Matahari Kebenaran bangkit.”(19) Lebih lanjut ia menulis tentang melihat “wajah kemuliaan Kristus, dan melihat hari terang-Nya.”(20)

Sebuah catatan peralihan umat Kristen menggunakan penanggalan kafir telah diabadikan dalam berbagai prasasti batu nisan. Sebuah nisan orang Kristen merujuk kepada dies Mercurii (hari planet Merkuri) di dalam tulisan nisan itu. Tanggal pada batu nisan tersebut diyakini sekitar tahun 291 atau 302 Masehi.(21) Batu nisan Kristen lainnya, salah satu yang bertanggal tertua yang ditemukan di Roma, merujuk pada dies Veneris (hari planet Venus).  Yang membuat nisan ini berbeda adalah karena dicatat dengan dua jenis tanggal, tanggal kalender Julian dan tanggal kalender luni-solar! bertanggal pada tahun 269 Masehi, prasasti  itu menyatakan:

Dalam konsul Claudius dan Paternus, pada Nones November, pada hari Venus, dan di hari ke 24 bulan lunar, Leuces telah menempatkan [batu nisan ini] untuk Severa, puteri yang sangat disayanginya, dan kepada Engkau Roh Kudus. Puterinya meninggal [saat berusia] 55 tahun 11 bulan [dan] 10 hari.(22)

“Nones” November adalah tanggal 5 November yang jatuh pada hari Venus, hari Jumat.  Berdasarkan bulanan jatuh pada hari ke-24 bulan lunar, atau “Hari Kedua” pada mingguan kalender Alkitab.

Kekristenan rasuli yang murni lambat laun berubah menjadi sebuah Kekristenan yang terjalin dengan prinsip-prinsip penanggalan kafir adalah terutama disebabkan karena kurangnya pengetahuan yang ada saat ini mengenai kalendar sejati Sang Pencipta. Siklus mingguan tidak terputus kafir telah menjangkau sangat jauh ke dalam sejarah, dan telah diasumsikan bahwa siklus mingguan tidak terputus ini selalu ada. Fakta-fakta sejarah tentang kalendar Julian telah dilupakan dan penalaran yang beredar telah digunakan untuk “membuktikan” bahwa hari Sabat Alkitabiah adalah hari Sabtu: artinya, mingguan Gregorian moderen memiliki siklus tujuh hari seminggu yang terus berlanjut.  Kemudian, hari Sabtu, dipastikan menjadi “Sabat hari ketujuh” yang sesuai dengan perintah keempat.

Umat Katholik dan umat Protestan beribadah pada hari Minggu, hari pertama dari mingguan kalender Gregorian , telah diambil sebagai “bukti” lebih lanjut bahwa hari Sabtu adalah Sabat hari ketujuh Alkitab. Lagi pula, “jika hari Sabtu bukanlah hari Sabat sejati, mengapa Setan terganggu karena orang-orang yang beribadah pada hari Minggu?” Dusta ganda ini bagi para pemelihara Sabat hari Sabtu telah diyakini menurut asumsi mereka bahwa hari Sabtu adalah Sabat Alkitab. Namun, fakta-fakta sejarah bersinar terang menyinari kegelapan tradisi dan kesalahan untuk mengungkapkan asal usul kafir dari kedua hari ibadah moderen ini, hari Minggu dan hari Sabtu.


Konten Terkait:


(1) R. L. Odom, Sunday in Roman Paganism, (New York: TEACH Services, Inc., 2003), hal. 202.

(2) Eviatar Zerubavel, The Seven Day Circle, (Chicago: University of Chicago Press, 1985), hal. 22; Ignatius, Epistle to the Magnesians,(The Ante-Nicene Fathers, Grand Rapids, Michigan: W. B. Eerdmans, 1956, James Donaldson and Alexander Roberts, eds.), Vol. 1, hal. 59-65.

(3) Lihat On the True Doctrine, diterjemahkan oleh R. Joseph Hoffmann, (New York: Oxford University Press, 1987).

(4) “Celsus the Platonist,”Catholic Encyclopedia, NewAdvent.org.

(5) Odom, op. cit., hal. 54.

(6) Origen, Against Celsus, buku 6, pasal 22 in The Ante-Nicene Fathers, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1913), Vol. 4, hal. 583.

(7) S.d.a.

(8) Tertullian, Ad Nationes, Book 1, Chapter 13 in J. P. Migne, Patrologiæ Latinæ Cursus Completus, (Paris, 1844-1855), Volume 1, columns 369-372.

(9) Walaupun Kristus tidak lahir pada tanggal 25 Desember, namun Kekristenan moderen tetap menjadikan hari itu sebagai hari kelahiran “resmi” Mesias.

(10) Tertullian, Apologia, pasal. 16, dalam J. P. Migne, Patrologiæ Latinæ, Vol. 1, cols. 369-372; standard English translation in Ante-Nicene Fathers, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1913), Vol. 3, hal. 31.

(11) Untuk meneliti lebih lanjut, lihat www.tertullian.org.

(12) Antonio Gallonio, De SS. Martyrum Cruciatibus, 1591.  Published in English: Tortures and Torments of the Christian Martyrs, A. R. Allinson, trans., (London: Fortune Press, 1903), p. 143.  Tujuan dari buku ini adalah untuk “menghormati orang-orang beriman” dan diterbitkan dengan persetujuan Gereja Katholik Roma. 

(13) Odom, op.cit., hal. 158.

(14) 1 Korintus 10:20

(15) Gambaran ini adalah sebuah ukiran lempengan-tembaga yang dibuat oleh Antonio Tempesta dari Firenza (Florence) dibuat menurut rancangan Giovanni de Guerra dari Modena, dibuat untuk Paus Sixtus V.

(16) Gallonio, Tortures and Torments of the Christian Martyrs, op.cit., hal. 138.

(17) Hari Yupiter, dies Jovis, terkait dengan hari kamis moderen.

(18) A. T. Jones, The Two Republics, (Ithaca, Michigan: A. B. Publishing, Inc., n.d.), hal. 320-321.

(19) Eusebius, Commentary on the Psalms, Psalm 91 (Psalm 92 in A.V.), in J. P. Migne, Patrologiæ Græccæ Cursus Completus, (Paris, 1856-1866),  Volume 23, column 1169.

(20) Eusebius, Proof of the Gospel, Buku 4, pasal 16, diterjemahkan oleh W. J. Ferrar, Vol. 1, hal. 207 seperti yang dikutip dalam sumber yang sama.

(21) E. Diehl, Inscriptiones Latinæ Christianæ Veteres, (Berolini, 1925), Vol. 2, hal. 118, #3033.

(22) s.d.a., hal. 193, #3391.  Lihat juga, G. B. de Rossi, Inscriptiones Christianæ Urbis Romæ, Vol. 1, bagian 1, hal. 18, #11.